
MEDAN, medanoke.com | Dalam kasus OTT terhadap Topan Obaja Putra Ginting terjadi pada Kamis, 26 Juni 2025, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terkait dugaan korupsi proyek jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara dan Satker PJN Wilayah I Sumut, pusaran aroma busuk proyek jalanan yang tak kunjung mulus menyisakan banyak tanda tanya, seperti : apakah proyek ini baru saja bermasalah atau sudah pernah ada masalah sebelumnya?
Itu yang disampaikan Rudy Chairuriza Tanjung, SH. Advokat yang juga menjabat sebagai Ketua Jaringan Pendamping Kebijakan Pemerintahan (JPKP) Sumut. Rudy menegaskan dengan semangat moral dan nurani bahwa sudah seharusnya keadilan tidak boleh menjadi barang dagangan dalam gelombang besar pemberantasan korupsi.
Saat berbincang dengan wartawan di Hotel Emerald Garden Medan pada Kamis, 10 Juli 2025, Rudy menyampaikan seruan serius: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memberi perhatian khusus dan perlindungan ketat terhadap Rasuli, pejabat UPTD yang ikut terseret dalam operasi tangkap tangan (OTT) beberapa waktu lalu.
Alasan Rudy, Rasuli bukan orang sembarang, Rasuli adalah kunci. Bagi Rudy, Rasuli dan Heliyanto bukan sekadar nama dalam lembar berita. Keduanya adalah saksi kunci dalam pusaran dugaan korupsi proyek Prevervasi Jalan Sp. Kota Pinang-Gunung Tua-Simpang Pal XI – sebuah proyek panjang yang ternyata bukan baru saja, melainkan sejak 2021 hingga 2025 dan telah menelan anggaran negara sebesar Rp 113,4 miliar.
Rasuli telah menjadi UPTD sejak 2021, dan bersama Heliyanto (PPK PJN 1), mereka paham betul detail teknis, administrasi, dan dinamika lapangan proyek jalan sepanjang 120 kilometer itu. Dari PT Harawana Consultant hingga PT MKN, dari musim hujan hingga pergantian sistem ke e-Catalog, semuanya terekam dalam narasi pembangunan yang ternyata belum juga mampu menghasilkan jalan yang layak, meski dana telah terkucur deras dari APBN.
Anggaran demi anggaran terus mengalir. Tahun 2023 lewat e-catalog sebesar Rp 52,4 miliar. Tahun 2024 kembali dipecah ke berbagai pos: Rp 9,8M, 6,2M, 1,8M, hingga sekadar Rp 60 juta untuk Preservasi jembatan. Namun hasilnya? Jalan masih jauh dari kata mulus. Kini, APBN 2025 kembali menggelontorkan Rp 40 miliar untuk proyek yang sama. Angka besar, tapi akankah publik kembali tertipu?
“Uang rakyat jangan jadi korban kesalahan struktural bertahun-tahun. Kita butuh transparansi, bukan sekadar gebrakan OTT yang hangat sesaat dan menguap keesokan hari”, tegas Rudy.
Karena itu, dalam momen krusial ini, Rudy menyatakan siap mendampingi “TOP” (Topan Obaja Putra Ginting), dan kawan-kawan secara gratis. Ya, gratis karena bukan hanya uang yang menjadi taruhan, tapi nama baik, masa depan, dan martabat mereka yang mungkin dijadikan kambing hitam atas kegagalan sistemik selama bertahun-tahun.
“Kalau pun ada prosedur yang salah atau kebijakan yang keliru, biarlah pengadilan yang terbuka membuktikannya, bukan opini yang dimobilisasi oleh kepentingan sesaat”, kata Rudy, tajam tapi adil.
Dan di sinilah letak pentingnya sikap intelektual yang tidak latah. OTT bukan panggung penghukuman dini. Masyarakat butuh pendampingan hukum yang profesional dan berpihak pada kebenaran, bukan pada suara yang paling keras atau paling viral.
Sebagai advokat dan aktivis kebijakan publik, Rudy memilih bukan untuk membela yang bersalah, tapi untuk membela hak mereka yang dituduh, karena semua orang berhak atas proses hukum yang jujur dan manusiawi.
“Masyarakat Sumut harus lebih banyak tahu kebusukan yang telah lama disembunyikan di balik proyek-proyek jalan yang tak kunjung sampai ke ujung. Kita tidak ingin generasi muda tumbuh di jalan berlubang yang disemen oleh dusta”
Ini adalah manifestasi nyata dari seorang profesional hukum yang memahami bahwa hukum bukan alat kekuasaan, melainkan alat keberadaban. Ketika negara sudah menggelontorkan lebih dari Rp 113 miliar, namun rakyat masih menatap lubang di jalan dan lubang di kepercayaan mereka, maka kita semua harus berani bicara.
Atas dasar pemikiran tersebut, Rudy memilih mendampingi tanpa pamrih, menyuarakan yang tak terdengar, dan mengingatkan bahwa keadilan bukan hak eksklusif bagi yang punya kuasa, tapi hak asasi semua manusia.
“Di negeri yang jalanannya rusak karena proyek, jangan biarkan juga nurani kita ikut rusak karena diam, ”tutup Rudy. (Pujo)