MEDAN-medanoke.com,
Dua puluh tahun sudah dapil Sumut I menjadi teritori pemuas nafsu sekalangan anggota DPR. Bekerja semata untuk tujuan partai. Inilah sekuel di gerbang pertarungan caleg petahana versus penantang.
Meski suara yang diwakili adalah warga empat kabupaten/kota Sumut (Sumatera Utara), wilayah saing terpanas dalam peta tarung pemilu Tanah Air ini memang selalu dihuni banyak caleg beken asal DKI Jakarta.
Penuh pesohor lintas partai, adu rebut kursi Senayan ini acap menegang saban lima tahun.
Dapil (daerah pemilihan) meliputi wilayah Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi, ini menempatkan 10 wakil rakyat terkenal, setengah dekade terakhir. Semua berasal dari 7 partai berbeda.
Sepuluh jagoan Pileg (Pemilihan Legislatif) 2019 itu adalah Romo HR Muhammad Syafii dan M. Husni (dari Gerindra), Sofyan Tan dan Irmadi Lubis (PDIP), Meutya Hafid (Golkar), Prananda Surya Paloh (NasDem), Tifatul Sembiring dan Hidayatullah (PKS), Mulfachri Harahap (PAN), dan Hendrik Halomoan Sitompul (Demokrat).
Nah, 9 dari 10 petahana itu kini kembali berlaga di Sumut I. Bersama mereka, ada lebih 150 sosok turut adu kuat di dapil itu. Totalnya, 172 caleg 18 partai siap sedia merebut 3,89 juta suara ‘dapil neraka’.
Para penantang yang sebagian punya nama besar datang dari ragam profesi. Mulai menteri, mantan kepala daerah, politisi, purnawirawan jenderal, hingga publik figur. Karena berkekuatan ‘gajah’, benturan antar mereka acap dihindari demi situasi tenang tetap tercipta.
Tak kalah dengan petahana, caleg-caleg pendatang baru ini juga telah turun ke desa. Mendadak jadi dermawan menjadi jurus saing para kandidat. Dan tak hanya lintas parpol, adu kuat mereka juga mencuat di internal beberapa parpol.
Tapi di situlah sejatinya terjadi gesekan citra caleg petahana versus pendatang baru. Saling manuver menguasai dapil yang bersamanya melekat karakter ekonomi sosial budaya masyarakat pemilih tampak kian memanas di hari-hari ambang penyoblosan suara.
Terutama kubu petahana Senayan. Apalagi paska terpilih lima tahun lalu sejumlah tuan puan wakil rakyat itu dilaporkan tak pernah turun ke dapil.
Dan bagi penghuni “gedung kura-kura” yang rajin mengurus konstituen, apa saja jejak kontribusi mereka di dapilnya? Dan berapa besar faedah sosialnya?
Dua soal itu masih saja menjadi pertanyaan tak terjawab.
Sementara, bagi caleg wajah baru, momen ter-up date lebih mengacu soal uji magnet mutu kecerdasan menantang petahana. Apakah gagasan kemajuan yang dikampanyekan dua bulan terakhir sudah “sampai ke darat” atau “masih mengudara”?
Apa pun hasilnya, pengamat politik asal UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara), Shohibul Anshor Siregar, menyebut masa ini sebagai nilai plus sistem pemilu proporsional terbuka.
“Di situlah sedianya terbentuk kedekatan antara kandidat dengan dapil atau masyarakat pemilihnya. Nah seiring literasi politik harus terus ditingkatkan, di situ pula orang-orang dapil itu mulai mencermati caleg petahana serta caleg penantang. Mencermati rekam kiprah, gagasan, serta karyanya,” urai Shohibul, lewat keterangan tertulis pada wartawan, Minggu (11/2).
Tapi temuan data 60 persen caleg DPR kali ini minim kedekatan dengan dapilnya sungguh bikin was-was masyarakat yang terdampak. Bagaimana nasib daerah yang segera mereka serah wakilkan hingga lima tahun ke depan?
“Sekarang ini dibutuhkan semacam gerakan polisi moral dari partai agar selalu memiliki caleg dengan kapabilitas di atas rata-rata sekaligus punya science of human being terhadap dapilnya,” timpal Dr Warjio, MM.
Pengamat ilmu politik dari USU (Universitas Sumatera Utara) ini meyakini solusi mendapatkan caleg bermutu ada pada sistem pemilu proporsional tertutup. “Dalam sistem ini, negara membiayai kehidupan partai politik, termasuk untuk menciptakan caleg-caleg bermutu,” sambung Warjio.
Di tempat terpisah, pengamat politik Sumut, Dr Arifin Saleh Siregar, menyebut temuan miris
60 persen caleg DPR minim kedekatan dengan dapilnya terjadi karena proses rekrutmen caleg serta dapilnya sesuai wilayah kampung halaman gagal dilakukan banyak partai politik.
“Tapi yang jelas, Abangda Haji Musa Rajekshah atau Bang Ijeck tak masuk dalam daftar 60 persen caleg DPR yang minim kedekatan dengan dapilnya,” kata Arifin. Dekan Fisip UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara) itu lalu bercerita soal kans Ijeck yang kini berlaga di dapil Sumut I.
“Peluang kemenangan beliau tampak sangat besar. Itu karena Bang Ijeck punya banyak modal. Dia punya modal sosial. Bukti soal itu ada pada kepribadian beliau yang amanah, juga punya sejumlah lembaga yang bergerak aktif di bidang kemasyarakatan,” jelas Arifin.
Modal kuat Ijeck yang lain, tambahnya, yakni soal ekonomi. “Berkat pergaulannya di banyak bidang, Bang Ijeck juga dikenal punya jaringan yang luas. Apalagi semua modal itu didukung kuatnya popularitas beliau. Terkenal, terutama karena beliau pernah menjabat Wakil Gubernur Sumut. Jadi elektabilitas Bang Ijeck itu makin tinggi karena sebangun dengan penilaian terhadap sosok beliau yang faktor kedisukainya juga tinggi,” tandas Arifin.
Ijeck, yang menjabat Ketua DPD Partai Golkar Sumut dan dikenal bersosok representasi manusia politik dengan naluri agama, diketahui berstatus caleg DPR RI nomor urut 1 untuk dapil Sumut 1.
Masih di Golkar, ada nama Yasir Ridho Lubis yang merupakan anggota DPRD Sumut saat ini serta mantan pejabat Polda Sumut yakni Kombes (Purn) Maruli Siahaan.
Tidak hanya Ijeck Cs dari Golkar, sejumlah caleg ‘gajah’ yang elektabilitasnya dilaporkan kian menguat di dapil neraka’ juga ada di partai lain. Seperti di PKB ada sosok Ashari Tambunan, mantan Bupati Deli Serdang.
Barisan ‘gajah’ penantang dari PDIP untuk dapil ini adalah Yasonna H. Laoly, Ruhut Poltak Sitompul, hingga Sugianto Makmur. (afm)
Dr Arifin Saleh Siregar. (Ist)