Langkat-medanoke.com, Terkait program Coporate Social Responsibility (CSR) untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dengan membagikan fly Ash-Bottom Ash (FABA), mendapat kecaman dari warga Desa Sei Siur, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara (Sumut). Menurutnya hal itu merupakan pencemaran limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang sudah tidak diakui lagi oleh pemerintah.
Baskami Ginting mungkin tidak mengenal Agustina, buruh perempuan yang harus menghidupi dan melindungi kesehatan tiga anaknya, dengan gaji cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan ia harus mencari kerjaan lain untuk mengobati anak nomor dua yang kerap kali mengalami sesak napas, tak jarang juga ia terpaksa berhutang.
“Jangankan bantuan kesehatan, kerjaan aja payah. Untuk masuk ke sana aja pun mesti bayar mulai dari 8 juta sampai 14 juta, tapi ada yang tak bayar, itu pun mesti ada kenalan orang dalam” ucap Tina saat dihubungi melalui telpon. Minggu (03/11/2023).
Dirinya kadung banting tulang sejak hadirnya Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan mendirikan pembangkit energi batu bara mulai pada tahun 2011. Suaminya pun terpaksa merantau mencari ikan di Pantai Cermin, Deli Serdang, sebab laut Pangkalan Susu sudah tidak lagi menjanjikan.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut mungkin belum pernah merasakan makan bakso di tempat kerjanya Agustina yang tak jauh dari semburan abu berwarna pekat. Sebuah pembangkit listrik bertenaga batu bara, di Pangkalan Susu.
Berdasarkan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) PLTU Pangkalan Susu, unit tiga dan empat dalam satu hari dapat menghasilkan 499,17 ton limbah fly ash (abu terbang), hal itu mampu meningkatkan polusi di udara. Temuan Yayasan Srikandi Lestari, air laut kerap terasa panas dan berada pada suhu 42 derajat celsius, hal ini membuat udang, kepiting serta ikan sulit ditangkap.
“Semenjak ada PLTU itu lah, cari ikan nih jadi payah. Kadang satu malaman tuh mau tidak dapat apa-apa, paling udang kecil-kecil untuk makan saja.” Ujar nelayan kolong.
Sebutan nelayan kolong karena mereka mencari ikan saat malam hari tepat di bawah terowongan terminal jetty, sebuah tempat pemindahan batu bara ke PLTU. Tak jarang juga batu bara yang dibawa kapal tongkang itu berceceran di lautan.
“Kalau pagi sekitar jam 5 atau jam 6 air laut terasa panas, dari kejauhan kita bisa tengok airnya menguap seperti mendidih,”
Sejak industri listrik itu membuang limbah cairnya ke lautan, para nelayan sangat berdampak dengan penghasilan serta ruang tangkapan ikan yang semakin menyempit. Sementara itu, program CSR telah melakukan pengobatan gratis untuk masyarakat di Pulau Sembilan, menurut Senior Manager PLTU Pangkalan Susu Usvizal Zainuddin.
“Memang pihak perusahaan pernah melakukan pengobatan gratis, tapi itu udah ada setahun yang lewat,” ucap salah satu warga Pulau Sembilan.
Direktur Yayasan Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti berpandangan program CSR PLTU Pangkalan Susu tidak menyasar pada seluruh lapisan masyarakat yang terdampak akibat kerusakan lingkungan, hal itu membuatnya melihat wakil rayat harus mendengarkan langsung cerita dari tapak.
“Hendaknya wakil rakyat ketika mengeluarkan statment jangan melihat sepihak tapi lihat kenyataannya, turun ke bawah, ke tapak lihat kondisinya,” ujarnya. (Rimba)
Yusuf Tambunan Medanoke.com-Rektor USU Muryanto Amin kabarnya tak diterge berjumpa dengan Ketua Harian DPP Partai…
Jakarta,Medanoke.com-Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, mendukung langkah Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Impas)…
Muslim Muis ; Tangkap Otak Pelaku dan Saksi Berat Oknum Kepolisian Yang Terlibat www.medanoke.com- Medan,…
www.medanoke.com- BELAWAN - Musda ke V Majelis Ulama Indonesia Kecamatan Medan Belawan, yang diselenggarakan di…
www.medanoke.com- Medan, Ketua IMO Indonesia Provinsi Sumatera Utara H.Nuar Erde desak Kepolisian Sumatera Utara (Polda…
"BPOM itu bukan lembaga yang mendukung bisnis. Tapi lembaga yang dibentuk untuk menjaga dan melindung…
This website uses cookies.