
Polkam, Bali, medanoke.com | Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) melalui Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri menegaskan pentingnya harmonisasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sebagai langkah strategis memperkuat efektivitas tata kelola pemerintahan nasional.
Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polkam, Mayjen TNI Heri Wiranto menyampaikan, rapat koordinasi ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah sekaligus menghimpun masukan substantif terhadap arah revisi UU 23/2014.
“Evaluasi ini sangat penting karena pelaksanaan UU Pemda selama lebih dari sepuluh tahun telah menimbulkan berbagai dinamika dan irisan kewenangan antara pusat dan daerah. Melalui forum ini, kami ingin memastikan bahwa revisi UU Pemda nantinya benar-benar memperkuat desentralisasi yang berkeadilan dan adaptif terhadap tantangan zaman,” ujar Heri disampaikan dalam Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi ke-3 dalam rangka Harmonisasi Kewenangan Pemerintahan Pusat dan Daerah melalui Evaluasi Implementasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang digelar di Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Kamis (6/11/2025).
Kegiatan ini merupakan lanjutan dari dua pertemuan sebelumnya yang dilaksanakan di Kota Makassar dan Kota Batam, sebagai bagian dari agenda nasional penyusunan arah revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah lebih dari satu dekade menjadi landasan utama pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Beberapa ketentuan dalam UU 23/2014 telah mengalami perubahan melalui berbagai regulasi sektoral seperti UU Cipta Kerja, UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), UU Sumber Daya Air, UU Minerba, serta Putusan Mahkamah Konstitusi. Kondisi tersebut menegaskan perlunya harmonisasi hukum untuk menjaga konsistensi pelaksanaan otonomi daerah.
Gubernur Bali I Wayan Koster menyoroti pentingnya kebijakan yang memperhatikan karakteristik dan potensi daerah. “Bali menyumbang 53 persen devisa nasional di sektor pariwisata. Namun, perhatian kebijakan pusat terhadap daerah wisata belum proporsional. Karena itu, kami mendorong adanya kebijakan asimetris yang mempertimbangkan kearifan lokal dan potensi daerah tanpa harus mengubah status menjadi otonomi khusus,” katanya.
Wayan menekankan bahwa revisi UU Pemda ke depan harus tetap berasaskan pada empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sementara itu, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri menegaskan bahwa kebijakan pembentukan daerah otonom baru perlu dilakukan secara selektif dan berbasis evaluasi kinerja daerah.
“Kita perlu memperbaiki dan memperkuat basis data kebijakan, dan memastikan setiap keputusan diambil berdasarkan data yang akurat. Pembahasan revisi UU ini harus bersifat tematik agar lebih fokus dan implementatif,” jelas Dirjen Otda.
Rektor IPDN menyampaikan kembali filosofi dasar otonomi daerah yang meliputi integrasi nasional, demokratisasi, kedekatan pelayanan, dan peningkatan kesejahteraan publik. Ia menekankan bahwa penyebab utama penarikan kewenangan dari daerah ke pusat selama ini berasal dari ketidakpercayaan terhadap kapasitas daerah.
Dari sisi akademik, Prof. Yohanes Usfunan menyoroti lemahnya kualitas produk hukum daerah. “Banyak perda yang bermasalah karena hanya meniru dari daerah lain tanpa kajian mendalam. Revisi UU Pemda ke depan perlu memastikan adanya mekanisme harmonisasi dan fasilitasi yang kuat agar produk hukum daerah lebih kontekstual dan berkualitas,” tegasnya.
Selain itu, Inspektur II Kemendagri menekankan pentingnya pengawasan berbasis digital untuk menciptakan pemerintahan yang efisien dan bebas dari kebocoran anggaran.
“Pengawasan desentralisasi harus diarahkan pada peningkatan akuntabilitas vertikal dan horizontal, termasuk memperkuat peran GWPP serta sistem pembinaan dan sertifikasi APIP di bawah Kemendagri dan BPKP,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, beberapa perwakilan pemerintah daerah turut memberikan pandangan berdasarkan pengalaman langsung di lapangan. Pemkot Tarakan menekankan pentingnya kejelasan pembagian urusan pemerintahan umum seperti Kesbangpol, serta penyesuaian sanksi hukum dalam perda seiring perubahan KUHP baru. Sementara itu, Pemkab Jombang mendorong pelibatan sektor swasta dalam pertumbuhan ekonomi daerah dan penguatan peran APIP sebagai instrumen akuntabilitas lokal.
Adapun Pemprov NTB menyampaikan telah melakukan restrukturisasi perangkat daerah untuk efisiensi birokrasi, sementara Pemkab Banyuwangi menilai pemerintah pusat perlu menjadi role model tata kelola bagi daerah. (Pujo/KC/SIARAN PERS NO. 580/SP/HM.01.02/POLKAM/11/2025)






