Lingkungan Hidup

Sabang – medanoke.com, Yayasan Srikandi Lestari (YSL) , melakukan aksi bentangkan spanduk di titik 0 Km Indonesia, Sabang, yang bertuliskan ‘Pensiunkan PLTU Pangkalan Susu Sekarang’. Kamis (16/03).

Berdasarkan data Asian Development Bank (ADB) terdapat 30 nama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia meliputi Sumatera-Jawa-Bali terdaftar untuk pensiun dini.

Namun, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marvest) mewacanakan 31 PLTU di Indonesia yang akan pensiun dini, termasuk PLTU Pangkalan Susu.

“Sudah selayaknya energi fossil
diganti oleh energi bersih dan berkelanjutan, maka Pemerintah selayaknya mempensiunkan PLTU
Batubara Pangkalan Susu sekarang,” Ucap Mimi Surbakti Direktur Eksekutif YSL.

Berdasarkan data YSL, ditemukan pada Maret 2023 ada 5 anak di Desa Sei
Siur mengalami sesak nafas dan harus memakai alat bantu pernafasan. Bahkan kematian beberapa
orang dewasa di sekitar Ring 1 PLTU Batubara Pangkalan Susu juga terjadi dengan kondisi paru-paru
yang hancur.

“Yayasan Srikandi Lestari akan terus melakukan perjuangan menuju emisi nol ini mesti dilakukan dengan berbagai strategi perlawanan dan kampanye,” tutur Mimi.

Lebih dari itu, YSL melihat rusaknya lingkungan mempunyai efek domino salah satunya
menyebabkan kemiskinan pada masyarakat di tingkat tapak yang pada akhirnya mereka terpaksa
masuk dalam lingkaran perbudakan modern.

Rimba Zait Koordinator Fossil Free Sumut turut hadir dalam aksi, menyoroti pemakaian listrik surplus di Sumatera dan menyerukan kepada pemerintah untuk segera beralih ke energi bersih terbarukan yang berkeadilan.

“Ya, di Sumatera sudah surplus dan energi listrik kita didominasi sama batubara yang mempercepat terjadinya krisis iklim. Pemerintah Indonesia sudah berjanji untuk ikut berkontribusi menurunkan emisi karbon hingga 0 persen, maka dari itu cepatlah lakukan transisi energi,” ucap Rimba demisioner BEM STIK-P Medan.

Dalam aksi ini juga diikuti dari berbagai lembaga pemerhati lingkungan yang berada di Sumatera, antara lain: APEL Aceh,
Anak Padi Lahat, LBH Padang, Kanopi Hijau Bengkulu, dan Fossil Free Sumut.(aSp)

MEDAN – medanoke.com, Warga Jalan Menteng 2 melakukan aksi demo dengan menanam pohon di tengah jalan. Aksi ini terpaksa dilakukan warga setempat, setelah proyek drainase yang terbengkalai ko dan tak kunjung di perbaiki selama 4 bulan di Medan Denai, Kota Medan. Kamis (02/02/23)

Hal tersebut dikatakan Edward Parlindungan (57) bahwa akibat proyek galian drainase PU Medan yang tidak kunjung diselesaikan selama 4 bulan tersebut dapat memakan korban pengendara sepedamotor yang kenetulsn melintasi jalan tersebut.

“Kalo bisa lebih cepat lah sudah banyak yang berjatuhan disini, orang mau kerja pun jalan becek kok udah hujan jadi jatuh lah yang mobil pun tepatir disini,” Ucap Edward.

Selain bahaya kecelakaan lalu lintas, Edward mengungkapkan bahwa proyek galian drainase yang dianggap selesai dari bulan November ini, juga mengakibatkan genangan air, dikala hujan. Selain itu juga sulit untuk di lintasi

“Banjir lah hujan becek udah lama lah dari bulan 11 ini masang drainase di tengah jalan,” Ungkapnya.

Ia juga berharap bekas galian proyek drainase ini dapat segera di perbaiki sehingga masyarakat dapat aman dan nyaman ketika melintas.

“Yalo bisa cepat lah dibangun di perbaiki ini jadi kami warga sini pun enak kalo udah kemarau jadi debu gak banyak” Pungkasnya. (Cw)

Medan – medanoke.com, Pertemuan para pemimpin negara industri yang tergabung dalam G20 yang motabene adalah penyumbang emisi terbesar di dunia telah berlangsung di Pulau Bali, Indonesia (15-16 November 2022). Ironisnya, selama pertemuan ini pemerintah Indonesia malah bertindak represif untuk membungkam partisipasi masyarakat, yang artinya anti demokrasi.


Memang semangat KTT G20 adalah untuk megatasi krisis ekonomi negara industri maju. Namun perindustrian adalah biang kerok dari berbagai permasalahan terkait lingkungan hidup seperti krisis pangan, krisis iklim (Global Warming), bahkan krisis energi (fosil) yang menunggu umat manusia dimasa depan.
 
Atas sikap pemerintah Indonesia yang dianggap “anti demokrasi” ini, para penggiat prodemokrasi, mahasiswa dan aktifis lingkungan hidup bergabung dalam aksi demo damai & long march yang dimulai dari Bundaran Majestik, Medan, Sumatera Utara (17/12/ 2022) dan berakhir di titik Nol Kilometer Kota Medan.

Dalam orasinya pendemo mengecam tindakan represif pemerintah Indonesia dan meminta negara negara yang tergabung dalam G20 berhenti mendanai solusi palsu transisi energy yang menghancurkan ruang hidup rakyat.
 
Aksi ini beramgkat berdasarkan skema pendanaan transisi energi global seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), Climate   Investment   Funds (CIF),   & Energy   Transition   Mechanism (ETM) bertujuan untuk mendukung pemensiunan dini PLTU batu bara, penutupan tambang batu bara dan percepatan pengembangan energi terbarukan. Bahkan Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpes) No 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
 
Anehnya, wacana transisi energi di Indonesia justru diberikan pada tambang dan pengolahan Batu Bara, sebagai salah satu energi fosil penyebab krisis iklim.

Kementerian ESDM, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, tengah menyiapkan strategi dalam mereduksi emisi karbon, beberapa diantaranya yaitu pembangunan industri hilir batubara, pemanfaatan clean coal technology di pembangkit dan Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization Storage (CCUS). pemanfaatan teknologi untuk tetap menggunakan energi fosil, seperti minyak bumi, gas dan batu bara, adalah bagian dari solusi palsu.
 
Di Sumatera Utara khususnya kecamatan Pangkalan Susu, kabupaten Langkat, beroperasinya PLTU Batubara diduga telah merusak ruang dan sendi kehidupan rakyat. Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Srikandi Lestari di 5 Desa dan 2 kecamatan yaitu Pangkalan Susu dan Brandan Barat, ditemukan pada  sektor Perikanan, sebanyak 659 nelayan menjadi korban menurunya mata pencaharian. sebanyak 70% Nelayan memilih menjual sampan/ perahunya untuk menutupi hutang – hutang akibat hilangnya ikan dan biota laut lainnya, sebagai sumber mata  pencaharian. Para nelayan memilih merantau atau mencari pekerjaan  lain, bahkan menjadi  penganguran.

Nelayan tradisional mengaku diintimidasi. Mereka dilarang, dikejar, diancam, dilempar dan nahasnya hingga ditembaki oleh security PLTU, yang sengaja dilakukan untuk mengusir nelayan yang mencari ikan di sekitar dermaga PLTU batubara Pangkalan Susu. Salah satu penyebab hilangnya tangkapan adalah dikarenakan kondisi laut yang tercemar oleh debu batubara dan pembuangan air bahang.

Sementara itu, pada  sektor pertanian, ada 316  orang petani yang mengelola sawah dengan luas  sawah 158,36 Ha menderita gagal panen hingga menurun hanya hasil panen hingga 50 %. Banyak padi yang tumbang atau menjadi gosong serta terkena hama yang sulit diatasi. Biaya produksi yang tinggi membuat petani banyak menjual sawahnya karena pertanian tidak lagi menghasilkan penghidupan.

Batubara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO3, kontributor utama dalam pembentukan hujan asam, yang mempengaruhi tanaman, tanah, bangunan. Hujan asam bisa mengubah komposisi tanah dan air sehingga menjadi tidak layak untuk tanaman maupun hewan.
 
Berimbas di Sektor Kesehatan, terdapat   333   orang (202 Laki-laki, 131 Perempuan), rentang usia 1 – 19 tahun berjumlah 98 orang dan 235 orang dengan rentang usia 20 – 75 tahun.   tercatat ada jenis 5 penyakit tertinggi : Gatal – Gatal : 243 Kasus, Batuk / Sesak Nafas & ISPA : 42 Kasus, Hipertensi :
39 Kasus, Paru Hitam : 4 Kasus (3 Meninggal karena Paru Hitam dan 1 Paru-parunya Hancur),
Kelenjar / Tiroid : 4. Polusi partikel halus (PM2.5), emisi udara PLTU Batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsen, sangat berbahaya bagi kelanjutan kehidupan masyarakat dan lingkungan. Kasus Kesehatan Anak : Ada 60 anak dari 5 Desa yang terdata mengalami gatal-gatal akut. Hingga saat ini anak-anak bahkan orang dewasa harus mengkonsumsi obat – obatan setiap hari agar penyakit gatal  gatal ini tidak kambuh.
 
Berdasarkan data Puskesmas kecamtan Pengkalan Susu, banyak masyarakat yang menderita penyakit seeprti ;
1.Acut Nasopharyngitis (Commond Cold) Infeksi Saluran pernafasan Atas.
2.Gastritis,  Unspesific  (peradangan  pada  dinding lambung).
3.Essensial  (Primary)  Hypertension  (peningkatan tekanan darah).
4.Dyspepsia.
5. Other Chronic Obstruction Pulmonari Disease (Penyakit  Paru  Obstruksi  Kronik  yang berlangsung lama).
 
Sejauh ini ini PLTU Batubara Pangkalan Susu, diduga penyumbang terbesar kerusakan lingkungan dan ber-efek pada masyarakat disekitarnya.

Terkait berbagai dampak yang sangat merugikan ini, dalam aksinya para pendemo menuntut Pemerintah untuk memperhatikan beberapa hal seperti ; Mendesak pemerintah Indonesia mempensiunkan dini PLTU Batubara Pangkalan Susu dan segera beralih ke energy bersih terbarukan yang ramah lingkungan dan berkeadilan. Menolak semua pendanaan terhadap solusi palsu transisi energi seperti gas bumi, semua bentuk co-firing batubara, nuklir, penerapan carbon capture and storage pada PLTU batubara, hilirisasi batubara. Melakukan  pemulihan  terhadap  kerusakan  baik  lingkungan,  pemulihan  Kesehatan,  pemulihan sektor pertanian dan pemulihan sektor perikanan yang diakibatkan pembakaran batubara di Pangkalan Susu dan menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM yang diakibatkan industry ekstraktif.

Dalam aksi damai ini para penggiat lingkungan hidup menggelar berbagai poster dan spanduk demo. (aSp)

Langkat – medanoke.com, Tim Penyidik Pidsus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) melakukan penyitaan terhadap 60 bidang tanah di Desa Tapak Kuda Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat, Sumut, Selasa (8/11/2022). Dengan luas lahan 105,9852 Ha.

Saat dikonfirmasi kepada Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan membenarkan penyitaan lahan tersebut dan telah mendapatkan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Medan Kelas IA dengan nomor 39 SIT/PID.SUS-TPK/2022/PN.MDN tanggal 14 Oktober 2022 yang pada pokoknya memberikan ijin kepada Penyidik dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk melakukan penyitaan terhadap tanah tersebut. Proses penyitaan berlangsung dari pukul 11.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB. Dan terhadap lahan tersebut dititipkan ke BKSDA Wilayah 1 Sumut.

“Proses penyitaan lahan juga dihadiri penasehat hukum dari pihak yang sebelumnya menguasai dan mengelola kawasan tersebut. Kemudian, pelaksanaan Penyitaan dilakukan oleh tim penyidik Kejatisu sebanyak 5 orang yang dikordinir oleh Kordinator Pidsus dan stakeholder yang ikut adalah pihak BKSDA wilayah 1 Sumut, BPN Langkat, pihak keamanan dari Polres Lagingkat dan Kodim Langkat, ” jelas Yos.

Untuk penanganan perkara ini, lanjut Yos Tim Pidsus telah memeriksa saksi-saksi sebanyak 40 orang baik dari pihak BPN, pihak yang mengunakan lahan, kementerian KLHK dan beberapa ahli keuangan negara dan perekononian negara. Tim Pidsus sedang menunggu perhitungan dari ahli Lingkungan terkait potensi kerugian keuangan negaranya.

“Tim ahli lingkungannya berasal dari IPB dan ahli keuangan/ekonomi dari UGM. Untuk perkembangan selalanjutnya akan disampaikan secepatnya, ” tandas Yos.

Sebelumnya, Kejati Sumut turun langsung dan meninjau lahan suaka margasatwa, namun pada faktanya di lapangam terdapat tanaman sawit yang disebutkan dikelola oleh kelompok tani, namun kelompok tani yang dimaksud diduga hanya kedok saja.

“Bahwa tanah tersebut adalah kawasan hutan suaka margasatwa dan di dalamnya ada kelompok taninyang bernaung dibawah Koperasi Serba Usaha atau KSU Sinar Tani Makmur (STU) , ” paparnya.

Lebih lanjut mantan Kasi Pidsus Kejari Deli Serdang ini menyampaikan, untuk dapat diketahui , tidak hanya kerugian Negara yang dicari, namun Tim Pidsus Kejatisu juga mencari  dampaknya kepada kerugian keperekonomian negara

Pengelolaan lahan berkedok Koperasi ini semakin memperkuat pembuktian perkara dugaan tindak pidana korupsi mafia tanah

“Adapun luas lahan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang sudah diubah menjadi kebun sawit mencapai 210 hektar dan dugaan korupsi kegiatan perambahan kawasan suaka margasatwa oleh mafia tanah di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, ini sudah dinaikkan ke tingkat penyidikan dan segera menyampaikan setiap perkembangan yang ada. (aSp)

Langkat – medanoke.com           Sekelompok pemuda peduli lingkungan hidup yang tergabung dalam Yayasan Srikandi Lestari (YSL) Fossil Free Sumut dan Ruang Baca Sarang Buku (Ruba Sabu), Sekitar PLTU Pkl Susu, untukSekitar PLTU Pkl Susu mewarnai & melukis ewarnai & Melukis mengajak anak-anak seputar PLTU Pangklan Susu, untuk mewarnai & melukis, agar sejenak melupakan adanya aktifitas PLTU

di Desa Lubuk Kertang, Dusun Tepi Gandu dan Desa Pintu Air, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumut. Minggu, (09/10).
 
Rimba Zait selaku ketua Fossil Free Sumut menjelaskan, anak-anak usia 8-13 tahun dirangkul untuk melupakan sejenak dari aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara yang tak jauh dari lokasi mereka tinggal.
 
“Tepatnya berada di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.” Ungkap Rimba
 
Lagi dirinya yang merupakan pendiri Ruba Sabu mengatakan, aktivitas dari industri ekstraktif itu kuat dugaannya telah mencemari lingkungan dan anak-anak mendapatkan serangan penyakit kulit.
 
“Di Kecamatan Pangkalan Susu ini banyak  anak-anak yang terserang penyakit kulit dan ispa bahkan beberapa dari mereka tak bisa sekolah karena kulitnya luka dan terkadang mengeluarkan nanah. Mereka yang terdampak ada di Desa Pintu Air, Lubuk Kertang, Sei Siur, Pulau Sambilan, Beras Basah. Dengan kegiatan ini kami ingin menghibur mereka.” Kata Rimba
 
Perlu diketahui, tempat ini terdapat PLTU Pangkalan Susu yang memakan luas sebesar 105 ha dan setiap hari nya membakar batubara sebanyak 11.000 ton/hari, dari hasil pembakaran tersebut menghasilkan Fly Ash sebesar 6000 ton/hari.
 
Lebih dari itu upaya ini dilakukan untuk  mencoba melindungi hak anak hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Hal ini tertuang dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang (UU) No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
 
“Karena dirasa negara tidak hadir di sini, maka kami mencoba untuk melindungi hak anak di Pangkalan Susu. Kuat dugaannya lingkungan Pangkalan Susu sedang tercemar oleh adanya industri ekstraktif.” Pungkasnya. (Red)

Oleh ; Zaitshaisyabill

Di bulan September 2022 ini kita dikejutkan dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi.

Kabar pun mulai berseliweran dari berbagai media massa, baik nasional maupun lokal, baik daring maupun televisi, saat presiden republik Indonesia mengumumkan ‘pilihan terakhir pemerintah’ untuk mengalihkan subsidi BBM. Lucunya lagi, rakyat dikasih uang (program bantuan) bak pengemis pinggir jalan, alibinya membantu meringankan kehidupan. Coba pikir kembali, bisa kah uang menyelesaikan semua persoalan hidup?
 
Mari kita kembali melihat ke belakang, bagaimana pemerintah dengan ugal-ugalan mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan produk Undang-Undang No 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Tentu masih melekat dalam pikiran ketika memasuki tahun 2020 adalah masa menyebalkan, karena virus covid-19 menghantui dunia dan pejabat negara sempat meremehkannya. Namun Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) begitu percaya diri menganggap melindungi rakyat.
 
Jika kita kaji kembali UU Minerba, akan terlihat kepada siapa kebijakan ini berpihak. Awalnya memang angin surga, lalu berikutnya penjajahan yang terasa. Dalam pasal 4 ayat 1 tertulis dengan jelas; batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan. Kita tahu kandungan batubara itu ada uranium, arsenik, merkuri dan bahan berbahaya beracun lainnya yang siap mengganggu kesehatan manusia kalau itu digunakan. Lalu, ketika itu tak terbarukan, mengapa tidak memakai energi terbarukan? Tak hanya itu, dalam UU Minerba sangat memungkinkan terjadi konflik agraria, sebab wilayah konservasi atau hutan lindung mampu dirusak untuk pertambangan, kebijakan ini tertulis dipenjelasan pasal 27 ayat 2. Tentu ketika pohon-pohon hancur, maka air akan tercemar dan bisa terjadi krisis air bersih.
 
Belum puas sampai disitu, kebijakan mencengangkan timbul lagi. Pemerintah melahirkan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau nama bekennya Omnibus Law. Ini adalah gabungan peraturan yang dijadikan satu panduan, memang untuk rakyat akan kesulitan memahami isi dari UU tersebut. Karena begitu banyak pasal serta proses pembentukannya tidak lama, rakyat menolak keras kelahiran Cipta Kerja. Berdasarkan data yang dihimpun, sudah ribuan buruh menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada era Omnibus Law. Memang sejak awal pandemi pemerintah meremehkannya dan dijadikan senjata untuk PHK buruh. Menjadi pertanyaannya, ada Cipta Kerja kok ada juga ribuan buruh di PHK?
 
Terbitnya UU tersebut seakan mengaburkan perkataan atau hukum atau paham dari negara. Ini lah pertanyaan yang harus kita jawab lebih dahulu. Tak ada definisi tak bisa ada science. Jadi definisi itu maksudnya pertama menentukan golongan atau klas sesuatu barang dan kedua perbedaannya barang itu dengan barang lain yang satu klas dengan dia. Kita lihat barang itu ialah UU yang makin dalam kita melihat untuk golongan pengusaha dengan modal besar. Secara tidak langsung penjualan negara sedang dimulai.
 
Tan Malaka menulis dalam bukunya berjudul MADILOG, “Walaupun Indonesia terkaya di dunia, tetapi selama ilmu alam tidak merdeka, seperti politik negaranya, maka kekayaan Indonesia bukan akan menjadikan penduduk Indonesia ini senang, melainkan semata-mata akan memusnahkannya, seperti 350 tahun di belakang ini. Politik dan kecerdasan bangsa asing akan memakai kekayaan Indonesia buat memastikan belenggunya Indonesia, seperti ular kobra memeluk mangsanya.” Tulisan ini menggambarkan penjajahan model baru.
 
Tidak lama lagi, pemerintah bakal melaksanakan kegiatan besar yang menampung kepala negara dengan ekonomi terkuat di dunia dan berkumpul di Bali sambil makan-makanan bergizi serta meminum-minuman yang segar. Melihat situs web Menteri Keuangan RI, mengklaim peran nyata yang di lakukan Grup Twenty (G20) ialah penanganan krisis keuangan global 2008, kebijakan pajak, kontribusi dalam penanganan pandemi covid-19, perdadangan, iklim dan pembangunan. Mereka ada memasukkan isu terkait iklim, tentang alam! Prakteknya alam sedang dieksploitasi untuk kepentingan segelintir manusia serta menyengsarakan banyak manusia. Bagaimana bisa menangani iklim dengan kebijakan yang mengeksploitasi alam?
 
Saat ini batubara masih menjadi primadona para pengusaha tambang untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sepertinya pemerintah sedang jatuh cinta dengan tenaga listrik, sampai sepeda motor dan mobil akan memakai listrik dan perlahan berhenti memakai BBM. Sebuah terobosan cukup menyebalkan. Kalau memang bijak, mengapa tidak hentikan saja menambang batubara, kemudian tutup PLTU di Indonesia. Lalu beralih ke energi terbarukan, seperti angin, tenaga matahari yang memungkinkan sedikit kerusakan terjadi pada alam.
 
Indonesia mampu memproduksi batubara lebih dari 600 juta ton per tahun. Di mana sekitar 25% digunakan di dalam negeri dan selebihnya diekspor. Pada 2021, Indonesia memproduksi 614 juta ton batubara, dan 133 juta ton di antaranya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Pada 2022, Indonesia menargetkan produksi batubara mencapai 663 juta ton, dengan penggunaan dalam negeri 165,7 juta ton. Walau batubara banyak ke luar negeri, namun dunia juga tengah beramai-ramai mengampanyekan meninggalkan batubara yang memang sebagai energi kotor dan menggencarkan penggunaan energi baru terbarukan. Seperti yang tertuang dalam kesepakatan di Paris Agreement, dunia menargetkan penurunan emisi 45% di 2030 dan mencapai netral karbon atau net zero emission (NZE) pada 2050, guna mencegah kenaikan suhu di atas 1,5 derajat Celsius. Tentu, penurunan emisi hingga 0% bisa menjadi omong kosong ketika batubara masih menjadi primadona mengalirkan listrik.
 
Penggunaan batubara sebagai bahan bakar dapat menyebabkan masalah kesehatan dan kematian. Kabut asap London,contohnya; yang mematikan terutama disebabkan oleh penggunaan batubara yang sangat banyak. Batubara global diperkirakan menyebabkan 800.000 kematian prematur setiap tahun. umumnya di India dan Tiongkok.
 
Menghirup debu batu bara menyebabkan pneumokoniosis pekerja batu bara yang dikenal dengan bahasa sehari-hari sebagai “paru-paru hitam”, disebut demikian karena debu batu bara benar-benar mengubah paru-paru menjadi hitam dari warna merah jambu biasa. Di Amerika Serikat saja, diperkirakan bahwa 1.500 mantan karyawan industri batubara meninggal setiap tahun akibat pengaruh menghirup debu tambang batubara.
 
Sekitar 10% batubara adalah abu, abu batubara berbahaya dan beracun bagi manusia dan beberapa makhluk hidup lainnya. Abu batubara mengandung unsur radioaktif uranium dan thorium. Abu batubara dan produk sampingan pembakaran padat lainnya disimpan secara lokal dan tersebar dengan berbagai cara yang membuat mereka yang tinggal di dekat pabrik batubara terkena radiasi dan racun lingkungan.
 
Penggunaan batubara menghasilkan ratusan juta ton abu dan produk limbah lainnya setiap tahun. Ini termasuk abu terbang, abu padat, dan desulfurisasi gas buang lumpur, yang mengandung merkuri, uranium, thorium, arsenik, dan logam berat lainnya, bersama dengan non-logam seperti selenium. Emisi cerobong asap batubara menyebabkan asma, stroke, berkurang kecerdasan, arteri tersumbat, serangan jantung, gagal jantung kongestif, aritmia, keracunan merkuri, oklusi arteri, dan kanker paru-paru.
 
Di Cina, peningkatan kualitas udara dan kesehatan manusia akan meningkat dengan kebijakan iklim yang lebih ketat, terutama karena energi negara itu sangat bergantung pada batubara. Dan akan ada manfaat ekonomi bersih.
 
Sebuah studi tahun 2017 dalam Jurnal Ekonomi menemukan bahwa untuk Inggris selama periode 1851-1860, “peningkatan satu standar deviasi dalam penggunaan batubara meningkatkan angka kematian bayi sebesar 6-8% dan menjelaskan bahwa dampak penggunaan batubara pada industri sekitar sepertiga dari hukuman mati perkotaan yang dilaksanakan selama periode ini.
 
Begitu pun terkait alam kita saat ini yang sedang mengalami masa kehancurannya dan jika tidak cepat ditangani bersama, maka kita harus siap untuk musnah dalam waktu dekat. Masyarakat dunia sedang kesusahan, khususnya masyarakat yang hidup berdampingan dengan cerobong asap PLTU. Di Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara terdapat PLTU berkekuatan 2×250 MW untuk menerangi saat datang gelap, namun dalam cahaya terang itu terdapat penderitaan mendalam. Karena batubara, masyarakat menjadi sengsara. Mereka sedang terserang penyakit kulit, batuk-batuk yang tak berkesudahan, inpeksi saluran pernasan atas (ISPA), bahkan mengundang kematian ketika zat berbahaya beracun dari batubara terlalu banyak dihirup.
 
Perlu kita ketahui bersama, batubara memiliki peran besar menyumbang terjadinya krisis iklim, sebab emisi karbon yang dikeluarkan 11.000 ton per hari di Pangkalan Susu, panas matahari tak mampu bumi kembalikan dan bisa melubangi lapisan ozon. Itu sungguh berbahaya, akibatnya terjadi efek gas rumah kaca. Tak hanya itu, bencana tentu siap menerjang, kehidupan manusia terancam, petani jadi linglung karena cuaca suka berubah-ubah, nelayan harus mengisi lebih banyak solar untuk ketengah laut karena ikan menjauh sebab air bahang dari PLTU dengan tidak sopannya membuang limbah langsung ke laut dan mematikan makhluk hidup di air. BBM semakin tinggi, penghasilan makin tipis.
 
Sungguh ini bukan bercandaan anak-anak yang berlebihan lalu menangis. Lebih dari itu, situasi sekarang merupakan pembentukan para pemberontak yang dirampas ruang hidupnya. Coba kita membaca kembali UU No 32 Tahun 2009, di situ jelas tertulis setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Prakteknya, rakyat dipaksa menghirup udara kotor setiap harinya dari pembakaran batubara untuk mengalirkan listrik. Indonesia juga terlibat dalam perjanjian paris itu, negara kita sangat besar perannya menjaga keseimbangan alam. Namun, hutan dengan pohon-pohon besar diganti tambang dan sawit, ini pula menandakan krisis iklim bukan main-main.
 
Bagi penjajah, menguasai benda itu sangat lah penting. Perusahaan sekarang berdasar atas ilmu pengetahuan dan teknik. Batubara, misalnya benda itu adalah milik perusahaan, untuk mengaktifkan PLTU. Mengambil batubara tentu di dalam tanah. Pun, memerlukan teknik dan pengetahuan pula untuk bisa menguasai benda itu dan menikmatinya sendiri. Jadi, kalau satu negara penuh dengan benda tadi, tetapi lemah semangat rakyatnya, lemah intelek, tidak bersatu dan tidak pula merdeka, maka negara itulah yang akan menjadi umpan atau makanan dari penjajah.
 
Sepertinya tidak cukup kita membahas banyak kebobrokan dari kebijakan saat ini yang dibuat pemerintah atas nama kesejahteraan rakyat. Persoalan tersebut bisa kita rangkum menjadi permasalahan krisis iklim yang sedang terjadi sekarang ini. Karena manusia pada hakikatnya berdampingan bersama alam, ia tidak bisa dipisahkan, jika dipisahkan maka jadilah perbudakan. Manusia bakal menjual tenaganya untuk makan, biasanya ia mampu menanam agar bisa mengisi kehidupan, namun tanah bukan lagi milik rakyat. Memang dikuasai oleh negara, bahkan negara memiliki tanah! Sudah memiliki tanah, serakah pula dengan menerbitkan UU Cipta Kerja dan merevisi UU Minerba. Bolehlah kita berandai bumi hancur, apalagi yang bisa kita perbuat? Sebelum terlambat, pemerintah harus dengar dan serius membuat aksi nyata meredam siklus cuaca saat ini.
 
Krisis iklim bisa menjadi isu besar guna menampung segala persoalan hidup, aksi nyata sungguh diperlukan; turun ke jalan, misalnya. Sesungguhnya kata-kata tidak banyak bermakna, ketika tindakan tercipta. Sebab bumi makin dieksploitasi, maka kehancuran mengikuti. Berdampingan dengan rakyat tertindas sangat diperlukan, menyelami kehidupan mereka yang terdampak atas kebijakan politik. Lalu, kita rasakan bagaimana menjadi tertindas. Lebih dari itu, bangunkanlah semangat kritis menentang, dengan begitu bangunkanlah semangat menyerang buat meruntuhkan yang lama usang dan mendirikan rakyat yang baru-kukuh-kuat.

*Penulis adalah aktivis & pemerhati lingkungan hidup