www.medanoke.com, Kelahiran pers di Indonesia ditetapkan oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985, namun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menjadi pengingat peringatan lahirnya pers di Indonesia tahun 1946 pada 9 Februari.
Pers sendiri diamnbil dari bahasa latin, pressus, yang berarti tertekan, tekanan, atau terhimpit. Sementara itu dalam bahasa Indonesia, pers diambil dari bahasa Belanda yang berarti menekan sesuatu.
Mari kita simak perjalanan serta perkembangan pers di Indonesia yang telah mewarnai dunia komunikasi melalui media cetak sampai kepada media online.
Pers Masa Kolonial
Pada masa penjajahan Belanda, yakni sejak abad ke-17 pers di Indonsia dimulai. Lalu, pada pertengahan abad ke-18 beredar surat kabar di Indonesia yang berbahasa Belanda dan diperuntukkan untuk kepentingan perdagangan serta penyebaran agama.
Adapun beberapa surat kabar yang beredar pada masa itu adalah Batavia Nouvelles (1744-1746), Bataviasche Courant (1817), dan Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada abad ke-19, sudah ada surat kabar Indonesia yang mamakai bahasa Melayu, umumnya diterbitkan oleh kaum Tionghoa.
Bahkan muncul surat kabar yang menggunakan bahasa daerah setempat, seperti Bromartani, surat kabar berbahasa Jawa pertama yang diterbitkan di Surakarta pada 29 Maret 1855. Sedangkan di Sumatra juga terdapat surat kabar seperti Sinar Sumatra, Cahaya Sumatra, Pemberita Aceh, dan Perca Barat.
Pers Masa Kebangkitan Nasional
Pada abad ke-20, pers di Indonesia mulai berkembang dengan didorong oleh semangat kebangsaan. Hal ini kemudian membuat pihak Belanda memperbaiki undang-undang pers di tahun 1856. Peraturan ini sebagai alat pemerintah kolonial untuk pengawasan pemerintah dan dijalankan dengan cara represif.
Bahkan, setiap surat kabar yang akan dicetak harus lebih dulu diserahkan kepada pemerintah untuk mendapat persetujuan. Kebijakan baru yang dibuat Belanda tentu memunculkan perlawanan. Salah satu pejuang yang juga tokoh pers nasional, Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soejo, melempar kritiknya terhadap Belanda.
Ketika tahun 1907, Tirto mendirikan Medan Prijaji, sebuah surat kabar berbahasa Melayu pertama yang dimiliki secara penuh oleh rakyat Indonesia, tujuannya adalah untuk memperjuangan hak-hak orang yang tertindas akibat kebijakan Belanda. Naasnya, gagasan tokoh pers itu diasingkan karena dianggap membahayakan posisi Belanda.
Dengan begitu, masa kebangkitan nasional, pers digunakan sebagai alat perjuangan dan membangkitkan impian untuk merdeka dari penjajah. Akan tetapi, pengekangan terhadap pers masih terus berlangsung. Banyak surat kabar berserta para pemimpinnya saat itu ditangkap oleh pemerintah kolonial karena dianggap menghasut, merusak ketentraman, dan ketertiban umum.
Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial mengeluarkan UU pers baru yang disebut Persbreidel Ordonantie. peraturan ini banyak memuat pasal karet yang digunakan untuk menghalangi gagasan kemerdekaan tersebar dalam media massa. Kebijakan ini berakhir ketika Jepang mengusir Belanda pergi dari Indonesia tahun 1942.
Pers Dalam Revolusi Fisik
Masa revolusi fisik merupakan periode bangsa Indonesia sedang berjuang mempertahankan kemerdekaannya dan berlangsung sejak tahun 1945 sampai pada 1949. Ketika era ini, pers dibagi menjadi dua golongan yaitu, pers yang diterbitkan tentara sekutu dan Belanda atau pers NICA dan pers yang diterbitkan oleh rakyat Indonesia, pers republik.
Masing-masing pers ini memiliki fungsi yang berbeda. Pers Nica berisi propaganda yang ditujukan untuk mempengaruhi rakyat Indonesia agar mau kembali dijajah. Sedangkan pers republik bertujuan untuk mengobarkan semangat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan.
Pers Dalam Demokrasi Liberal
Sesuai dengan sistem pemerintahannya, maka pers nasional juga menganut sistem liberal yang berfokus pada kebebasan, era ini berlangsung sejak tahun 1950 sampai 1959.
Kebebasan ini dapat terlihat dari perubahan fungsi pers di Indonesia, saat itu media digunakan sebagai alat komunikasi partai politik. Pemberitaan pers pada masa ini lebih berpihak pada kepentingan partai politik. Akibatnya, pers cenderung menjadi partisan dan menjadi alat perjuangan politik.
Pers Dalam Demokrasi Terpimpin
Era pers dalam demokrasi terpimpin membuat Presiden Sukarno mulai bertindak lebih otoriter. Kebebasan pers perlahan juga tergerus, bahkan dijelaskan ketika masa orde lama merupakan periode buruk bagi pers.
Saat itu pers diatur secara ketat dan harus berfungsi sebagai alat revolusi pemerintah. Selain itu, pers juga digunakan untuk mendukung keberadaan pemerintah bersama kebijakannya. penegakkan terhadap pers di era demokrasi terpimpin terus berlangsung hingga Sukarno tumbang oleh Soeharto.
Pers Dalam Orde Baru
Pada masa Orde Baru, kebebasan pers di Indonesia sudah diakui oleh pemerintah. Sebab, pihak militer bekerja sama dengan mahasiswa, tokoh politik, dan tokoh keagamaan sehingga kebebasan pers bisa dipertahankan.
Kebebasan pers di Indonesia pada era ini dicantumkan dalam UU RI No. 11/1966, bahwa kebebasan pers di Indonesia tidak diartikan sebagai kebebasan liberalisme, melainkan kebebasan dalam menyatakan kebenaran dan keadilan.
Masih di undang-undang yang sama pemerintah juga menjanjikan kebebasan pers dalam Prinsip-prinsip Dasar Pers. Sayangnya, lambat laun kebebasan pers pada masa Orde Baru mulai tergerus. Bahkan, menurut catatan sejarah, pada masa Orde Baru terdapat sekitar 70 surat kabar dibredel oleh pemerintah.
Tidak hanya itu, banyak wartawan juga yang ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah. Adapun alasan pembredelan pers pada masa Orde Baru adalah untuk menghalau kritik terhadap pemerintah. Masa Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, yakni sejak 1966 hingga 1998.
Masa kepemimpinan Presiden Soeharto memang banyak menuai kontroversi, salah satunya adalah kebijakan Fusi Parpol (penggabungan partai politik). Alhasil, tidak sedikit media massa yang memberi kritik terhadap kebijakan yang dilakukan Presiden Soeharto.
Selain itu, Soeharto juga memiliki alasan lain mengapa melarang penerbitan media massa. Hal ini masih berkaitan dengan isu mahasiswa yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia. Akibatnya, Presiden Soeharto melarang sejumlah media massa beroperasi selama dua minggu.
Surat kabar yang dilarang beroperasi oleh Presiden Soeharto adalah Harian Kompas, Tempo, DeTIK, Editor, dan Monitor. Selain surat kabar, media elektronik juga tidak luput dibredel oleh pemerintah, seperti televisi dan radio.
Pers Masa Reformasi
Setelah Orde Baru berakhir, lahirlah era Reformasi sejak 1998 sampai sekarang. Masa Reformasi di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie banyak mengalami perubahan, termasuk pada kebebasan pers di Indonesia.
Kebebasan pers di Indonesia pada masa Reformasi ditandai dengan dibubarkannya Departemen Penerangan. Jaminan dan perlindungan dalam hal berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan informasi melalui media massa telah diatur dalam TAP MPR RI No. XXVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Lalu, penyensoran terhadap pers di Indonesia juga sudah tidak lagi diberlakukan. Media massa diberikan kebebasan secara penuh untuk melakukan berbagai pemberitaan. Berkat kebijakan baru ini, Indonesia berhasil menempati posisi sebagai salah satu negara di Asia Tenggara dengan kebebasan pers tertinggi pada awal masa Reformasi.
Pers Masa Teknologi
Perkembangan media online atau dalam jaringan (daring) tak dapat lepas dari penemuan teknologi internet serta komputer. Awal mula dari perkembangan media online ditandai oleh hadirnya World Wide Web (WWW) yang diciptakan oleh Tim Berners-Lee pada 1989.
Empat tahun kemudian, tepatnya pada akhir tahun 1993, University of Florida meluncurkan laman web pertamanya pada bidang jurnalisme (Noci, 2013). Kemudian, pada Januari 1994, Palo Alto Weekly menjadi media cetak (surat kabar) pertama yang merambah ke media online.
Setahun kemudian, pada tahun 1995 telah tercatat adanya 150 surat kabar yang diterbitkan sebagai media online pada World Wide Web (WWW).
Peningkatan yang pesat ini terjadi dikarenakan media konvensional berlomba-lomba masuk ke dalam ranah media online untuk menghindari menjadi media yang tertinggal dalam revolusi informasi (Elmer-Dewitt, 1995).
Pada masa ini, media online merupakan media yang paling baru lahir ketimbang media konvensional sebelumnya, yaitu media cetak dan media penyiaran.
Media online telah berkembang pesat beberapa dekade belakangan dan melahirkan teknologi baru yang terus-menerus muncul tiap tahunnya, dari mulai jurnalisme warga (citizen journalism) yang kini beralih ke jurnalisme warganet (netizen journalism) hingga penggunaan big data pada jurnalisme data (data-driven journalism).
Kemudian, kini media online juga mulai memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dalam metode pencarian informasi dan penyusunan berita yang disebut juga dengan istilah jurnalisme robot (robot journalism), dan masih ada banyak lagi teknologi baru yang berpotensi hadir dalam ranah jurnalisme pada masa yang akan datang.(Rimba)