jaksa agung

MEDAN – medanoke.com, Kejaksaan Tinggi Sumatera (Kejati Sumut) melalui Bidang Penerangan Hukum pada Asisten Intelijen Kejati Sumut menggelar kegiatan Penyuluhan Hukum dalam program Jaksa Masuk Kampus di aula Universitas Methodist Indonesia (UMI) Medan Jalan Hang Tuah Medan, Kamis (19/1/2023).

Tim Penkum yang menjadi narasumber adalah Kasi Penkum Yos A Tarigan, SH, MH, Jaksa Fungsional Lamria Sianturi, SH, MH, dan moderator Ghufran Tanjung, SH serta pegawai lainnya diterima langsung oleh Rektor UMI Medan Drs. Humuntal Rumapea, M. Kom, Wakil Rektor I Prof. Himpun Panggabean, Wakil Rektor II Dr. Siti Normi Sinurat, M. Si, Wakil Rektor III Roni Simamora, ST, M.Cs serta diikuti ratusan mahasiswa.

Dalam sambutannya Rektor UMI Medan Drs. Humuntal Rumapea, M.Kom menyampaikan terimakasih kepada Kejati Sumut yang memilih UMI Medan sebagai tempat pelaksanaan penyuluhan hukum.

“Semoga penyuluhan hukum ini memberikan dampak positif kepada mahasiawa untuk mengenali hukum dan menjauhi hukuman. Kerjasama UMi dengan Kejaksaan juga kiranya bisa berlanjut dalam program lainnya, ” kata Rektor.

Selanjutnya, Kajati Sumut Idianto, SH, MH melalui Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan menyampaikan bahwa salah satu upaya pencegahan yang dilakukan Kejaksaan adalah dengan penyuluhan hukum ke sekolah, kampus dan lembaga.

Dalam materinya, Yos A Tarigan menyampaikan topik “Dampak Media Sosial, Cyber Bullying dan Sanksi Hukumnya Berdasarkan UU Informasi Transaksi Elektronik”.

“Saya yakin bahwa semua orang saat ini sudah sangat ketergantungan dengan gadget dan menggunakan aplikasi media sosial. Bahkan, ada yang sampai stres kalau tidak buat status dalam satu hari. Bahkan, ada istilah lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan handphone, ” kata Yos A Tarigan.

Lebih lanjut Yos A Tarigan menyampaikan bahwa dalam bermedia sosial, mahasiswa harus berhati-hati dalam membuat status agar tidak sampai menimbulkan masalah hukum.

“Dulu kita diingatkan untuk menjaga mulut agar jangan sampai salah dalam berbicara, tapi ditengah-tengah perkembangan teknologi informasi ini kita diingatkan untuk menjaga jari tangan agar jangan salah dalam membuat status. Mulutmu adalah harimaumu, sekarang jadi jarimu adalah harimaumu, ” kata Yos A Tarigan.

Materi tentang narkoba dan dampaknya dibawakan oleh Jaksa Lamria Sianturi dan mengajak seluruh mahasiswa agar jangan sampai terkena perkara penyalahgunaan narkotika.

“Lebih baik tidak mencoba sama sekali daripada nantinya terkena hukuman, memakai, mengedarkan dan menjadi bandar berbeda hukumannya. Yang pasti, adik-adik mahasiswa jangan pernah mencoba narkoba, ” tandasnya.

Pada sesi tanyajawab, beberapa mashasiswa dan dosen menyampaikan pertanyaan dan dijawab secara bergantian oleh Kasi Penkum Yos A Tarigan dan Lamria Sianturi. Kepada mahasiswa dan dosen yang bertanya diberikan hadiah flashdisk.

Di akhir kegiatan Rektor UMI Medan Humuntal Rumapea memberikan cenderamata kepada Kasi Penkum dan sebaliknya Kasi Penkum juga memberikan cenderamata kepada Rektor UMI Medan. (aSp)

MEDAN – medanoke.com, Jaksa Agung ST Burhanuddin menjadi narasumber dalam kuliah umum dengan tema “Keadilan Restoratif Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Jumat( 07/10/22).

Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan konsep keadilan dimulai dari konsep keadilan retributif, dan terus berkembang menjadi keadilan keadilan restoratif yang pada dasarnya memiliki prinsip restitusi dan reparasi bagi korban, serta prinsip rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa paradigma keadilan restoratif, dipandang sebagai jawaban atas permasalahan pidana dan pemidanaan dengan pardigma keadilan retributif dan keadilan distributif.

Menurut Bambang Waluyo (dalam bukunya yang berjudul Penyelesaian Perkara Pidana (Penerapan Keadilan Restoratif dan Transformatif), keadilan restoratif pada dasarnya mencoba untuk menyelesaikan isu-isu penting dalam penyelesaian perkara pidana seperti:

Minimnya partisipasi korban tindak pidana dalam proses sistem peradilan pidana;

Tidak hilangnya konflik antara pelaku dengan korban dan masyarakat pasca putusan pengadilan;

Ketidakberdayaan korban untuk meraih perbaikan dari akibat tindak pidana yang diterima.

Jaksa Agung menuturkan konsep keadilan restoratif meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku, dimana pemulihan akan memberikan kedamaian yang sempat pudar antara korban, pelaku, maupun masyarakat. Hal tersebut merupakan moral etik dari konsep restorative justice karena pada dasarnya keadilan dan perdamaian tidak dapat dipisahkan.

“Pemulihan hubungan ini dapat didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku, sehingga dalam hal ini pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberikan kesempatan untuk memperbaiki akibat dari perbuatannya melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial maupun mekanisme lainnya. Hal tersebut menjadi pembeda dengan pelaksanaan pemidanaan konvensional yang tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat,” ujar Jaksa Agung.

Adapun secara garis besar konsep keadilan restoratif dapat disimpulkan sebagai berikut: Pelaku harus menyadari kesalahannya dan tetap bertanggungjawab atas kejahatan yang telah dilakukannya terhadap korban; Korban dalam hal ini menjadi subjek yang harus diutamakan, hal ini dikarenakan korban merupakan subjek yang langsung merasakan akibat dari perbuatan tindak pidana pelaku.

Metode penyelesaian dalam konsep keadilan restoratif menggunakan musyawarah dengan melibatkan pelaku, korban, dan unsur masyarakat dalam hal pengambilan keputusan yang solutif guna memulihkan penderitaan korban;

Negara dalam hal ini melalui pemerintah harus memastikan bahwa kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan dengan baik sehingga tidak menimbulkan potensi konflik yang berkepanjangan.

Dalam hal dianggap perlu, upaya perdamaian dapat melibatkan Masyarakat untuk mendorong, mendukung dan ikut berpartisipasi untuk membantu memberikan saran dan pendapat terhadap penyelesaian masalah.

“Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka konsep keadilan restoratif merupakan konsep yang dapat diterapkan di Indonesia. Hal tersebut dapat tergambar pada kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia yang mengutamakan musyawarah mufakat dalam penyelesaian permasalahan,” ujar Jaksa Agung.

Selanjutnya, selaras dengan tema kuliah umum ini yang salah satu variabelnya membahas aspek Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung menyampaikan perlu diketahui bahwa penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia tidak dapat dipisahkan, dikarenakan dalam upaya penegakan hukum selalu berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Indonesia sendiri sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, hal ini tergambar pada Rumusan Sila ke-2 Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagai asas dalam perlindungan hukum kepada setiap orang yang berhadapan dengan hukum. Lebih lanjut, di dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

“Dalam konteks penerapan keadilan restoratif, tujuan yang hendak dicapai adalah terwujudnya keseimbangan dan perlindungan hukum baik bagi korban maupun pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana. Pelibatan korban sebagai salah satu pihak dalam penyelesaian perkara pidana merupakan pergeseran orientasi hukum pidana, dimana korban sebagai pihak yang dirugikan dapat turut aktif untuk mencapai keadilan yang diinginkannya,” ujar Jaksa Agung.

Korban sebagai pihak yang dirugikan, tidak dapat dilepaskan dari permasalahan hak-hak asasi manusia. Menurut Muladi (dalam bukunya Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat), korban adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian fisik, mental, emosional, ekonomi, atau gangguan terhadap hak-haknya. Oleh karena itu korban adalah pihak yang perlu dilindungi oleh hukum.

Selain perlindungan terhadap korban, bagi pelaku tindak pidana juga mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dasar pertimbangan perlindungan terhadap pelaku tindak pidana, (menurut Muladi dan Barda Nawawi dalam Teori-Teori dan Kebijakan Pidana), adalah: 

Pemidanaan bagi pelaku tindak pidana dapat mengakibatkan ketidakmampuan narapidana untuk melanjutkan hidup yang produktif di kehidupan bermasyarakat.

Pemidanaan juga mengakibatkan terjadinya stigmatisasi bagi narapidana, sehingga menimbulkan beban psikologis mendalam bagi pelaku tindak pidana, sekaligus memengaruhi produktivitas narapidana dalam mencari pekerjaan karena telah ada lebel sebagai penjahat.

Namun demikian, perlindungan terhadap pelaku tindak pidana agar dilakukan secara hati-hati sesuai dengan tingkat sifat jahatnya perbuatan pidana yang dilakukan. Hal tersebut dapat diukur dari nilai kerugian yang ditimbulkan dan tingkat kesalahan pelaku tindak pidana.

Selanjutnya, Jaksa Agung menyampaikan kuliah umum ini merupakan sebuah contoh konkret dari sinergi dan kolaborasi yang baik antara dunia akademik dan dunia praktik yang diaplikasikan dalam bentuk kuliah umum dengan materi yang advanced dan up to date.

Untuk itu, atas nama pribadi maupun Pimpinan Kejaksaan, Jaksa Agung menyampaikan apresiasi kepada pihak penyelenggara yang telah bekerja keras dalam menyelenggarakan kegiatan ini, sekaligus menyambut baik atas forum ilmiah yang rutin diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, dan berharap semoga keluarga besar Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan terus konsisten dalam menghadirkan ide-ide dan pemikiran, khususnya bagi perkembangan dunia hukum yang pada akhirnya dapat mendukung kemajuan bangsa dan negara sebagai bentuk pengamalan sesanti Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti. (aSp)​

Medanoke.com-Jakarta, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI,  Dr Ketut Sumedana, dalam siaran persnya menyampaikan bahwa, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengingatkan seluruh jajaran, baik pegawai maupun jaksa di lingkungan Kejaksaan RI untuk kembali bekerja usai libur Lebaran pada Senin 9 Mei 2022 mendatang.
 
Jaksa Agung Burhanuddin ST juga menegaskan bahwa pegawai dan jaksa yang tidak mematuhi akan dikenakan sanksi.
 
“Burhanuddin ST mengingatkan agar Kejaksaan Agung dan jajarannya di Kejati, Kejari dan Cabjari buka kantor untuk melakukan pelayanan publik pada hari Senin 9 Mei 2022, dimulai pada pukul 07:30 sampai pukul 16.00 di seluruh Indonesia,”
 
Dikatakannya lagi, Jaksa Agung ST Burhanuddin telah mengingatkan para pegawai dan jaksa di jajarannya agar memanfaatkan dengan cuti bersama selama libur Lebaran tahun ini. Sidak pun akan digelar, untuk memastikan semua pegawai dan jaksa berada di tempat kerja masing-masing.
 
Jaksa Agung berharap, para pegawai dan jaksa dapat menggunakan waktu cuti bersama tersebut secara maksimal untuk merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarganya.“Tapi harus diingat, hari Senin 9 Mei 2022 harus sudah masuk kerja. Kalau Senin besok ada yang tidak masuk hati-hati, bisa kena sanksi,” kata Ketut Sumedana, Kamis (5/5/22).
 
Dan Pada hari Senin 9 Mei mendatang, jam 09.00 wib akan dilaksanakan Halal Bihalal secara virtual di seluruh jajaran , dan diingatkan untuk hadir dalam acara dimaksud.
 
Dan Pimpinan Kejaksaan sudah menyampaikan  kepada anggotanya untuk hadir di hari pertama masuk kantor dan membuka pelayanan publik.
 
“Tidak ada alasan untuk tidak masuk terlambat atau tidak masuk kerja, bagi yang tidak masuk kerja akan diberikan sanksi tegas sesuai dengan ketentuan yang akan dikenakan, dan seluruh bidang pengawasan mulai dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi untuk mengecek kehadiran anggotanya,” tegasnya.(aSp)

Medanoke.com – Jakarta, Kejagung RI (Kejaksaan Agung Republik Indonesia) memberikan klarifikasi terkait pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang menyebutkan korupsi di bawah Rp 50 juta bisa diselesaikan dengan pengembalian uang kerugian negara. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Leonard Eben Ezer menegaskan pernyataan itu bukan bentuk impunitas.

“Imbauan Bapak Jaksa Agung RI bukanlah untuk impunitas pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara yang relatif kecil,” tulis Leonard dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/1/2022). Ia mengatakan, pernyataan itu masih merupakan wacana yang dibuka untuk dibahas ke publik.

“Untuk perkara yang model inilah Bapak Jaksa Agung RI wacanakan dalam bentuk imbauan untuk ditangani dengan menggunakan instrumen lain selain instrumen undang-undang tindak pidana korupsi,” imbuh dia.

Hal itu dimaksudkan agar penindakan tindak pidana korupsi bisa berdasarkan pemikiran yang jernih atas hakikat penegakan hukum itu sendiri, yaitu pemulihan pada keadaan semula.

Lebih lanjut, ia menyampaikan, pihaknya akan mengapresiasi jika terduga pelaku telah mengembalikan kerugian negara tersebut secara sukarela ketika kasus ini masih ditangani oleh tim inspektorat.

“Untuk perkara yang model inilah Bapak Jaksa Agung RI wacanakan dalam bentuk imbauan untuk ditangani dengan menggunakan instrumen lain selain instrumen undang-undang tindak pidana korupsi,” imbuh dia.

Pernyataan Jaksa Agung itu, lanjut dia, diharapkan bisa menjadi pemikiran bersama dan diperoleh solusi yang tepat dalam penindakan tindak pidana korupsi.

Ia berpandangan, dalam hal ini ada sejumlah kasus yang secara umum dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan untuk menggarong uang negara dan nilai kerugian keuangan negaranya cukup kecil.

Leonard kemudian mencontohkan, seorang kepala desa yang tidak memiliki pelatihan tentang bagaimana cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Kemudian kepala desa itu harus mengelola dana desa senilai Rp 1 miliar untuk pembangunan desanya. Menurut Leonard, penindakan korupsi terhadap kepala desa itu tentunya akan melukai keadilan masyarakat. Padahal bisa jadi itu hanya bersifat kesalahan administrasi.

“Misalnya kelebihan membayar kepada para tukang atau pembantu tukang dalam pelaksanaan pembangunan di desanya dan nilainya relatif kecil serta kepala desa tersebut sama sekali tidak menikmati uang-uang tersebut,” ujarnya.

Contoh lainnya, ia menyebutkan, seorang bendahara gaji membuat nilai gaji yang lebih besar dari yang seharusnya diterima oleh beberapa pegawai di suatu instansi pemerintah.

“Ini pun suatu maladministrasi, yang akan melukai keadilan masyarakat, jika kasus-kasus tersebut ditangani dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” kata Leonard.

Adapun pernyataan kasus korupsi di bawah Rp 50 juta bisa diselesaikan dengan pengembalian keuangan negara disampaikan Burhanuddin di dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis pagi.

“Kejaksaan Agung telah memberikan imbauan kepada jajaran untuk tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta untuk bisa diselesaikan cara pengembalian kerugian keuangan,” kata Burhanuddin dalam rapat kerja Komisi III DPR, Kamis (27/1/2022). (Jeng)

Medanoke.com – Jakarta, Menjerat koruptor selama ini tidak menimbulkan efek jera. Bahkan, koruptor kian tumbuh silih berganti. Menurut, Jaksa Agung RI, Sinitiar Burhanuddin, hukuman mati merupakan bentuk manifestasi upaya maksimal dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Korupsi di Indonesia adalah fenomena gunung es, dimana ribuan perkara sudah diungkap dan ribuan pelaku korupsi sudah dipidana,” kata Jaksa Agung, Rabu (26/1).

Lebih lanjut dirinya menjelaskan kualitas dan tingkat kerugian negara semakin meningkat, ternyata dengan pola sanksi pidana yang telah dikenakan pada para koruptor tersebut hanya menimbulkan efek jera bagi para terpidana. Tetapi tidak bagi mereka yang masih melakukan praktik korup di luar sana.

“Perlu dipikirkan efek jera yang bagaimana yang dapat menjadi warning. Yang efektif bagi masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan korup,” katanya.

Lebih dalam Burhanuddin menghimbau agar aparat penegak hukum mempertimbangkan instrumen pidana yang akan diterapkan dengan pidana terberat. (Jeng)

Medanoke.com – Medan, Pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia) berat yang terjadi setengah abad lalu masih meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Melalui siaran pers YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan) mendesak Jaksa Agung segera melakukan penyidikan atas peristiwa genosida 1965-1966, Kamis (23/12/2021).

Diketahui, YPKP telah memberikan laporannya kepada Jaksa Agung dipenghujung akhir tahun 2021. Khusus kasus peristiwa genosida 1965-1966 yang telah dilakukan penyelidikan oleh Tim penyelidik pro justisia Komnas HAM selama 4 tahun (2008 – 2012) dan hasil penyelidikannya telah diserahkan kepada Jaksa Agung pada 20 Juli 2012.

“Rekomendasi Komnas HAM ini juga diperkuat oleh Keputusan Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) IPT Tragedy 1965 Den Haag 10 -13 November 2015,” tulis Bedjo Untung, Ketua YPKP65 dalam siaran persnya.

Dalam Laporan Tim Penyelidik pro justisia Komnas HAM Peristiwa 1965-1966 dan Keputusan IPT 65 Den Haag dengan jelas menyatakan, telah terjadi pembunuhan, penculikan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan, penahanan, pemusnahan, kerja paksa mirip perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan phisik secara sewenang-wenang, kekerasan seksual, propaganda ujaran kebencian, perlakuan diskriminatif terhadap warga negara secara terstruktur, sistematis dan massal.

“Penyidikan harus segera dilaksanakan oleh Jaksa Agung mengingat kondisi phisik Saksi dan Korban sudah lanjut usia, dalam keadaan sakit bahkan sudah banyak yang meninggal dunia. Apabila hal ini tidak segera dilakukan penyidikan maka dikhawatirkan Korban akan habis karena tutup usia. Bila ini terjadi, akan menjadi hal yang buruk, mengapa ketika Korban dan Saksi masih hidup tidak segera diselesaikan. Ini akan menambah bukti negara dengan sengaja ingin lari dari tanggungjawabnya untuk berikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia kepada warganegaranya,” tegasnya.

Berdasarkan Surat Pembebasan yang Korban peroleh dari Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) maupun Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban), Korban dinyatakan bebas, tidak terlibat apa yang dinamakan dengan Gerakan 30 September, namun hak-haknya belum dipenuhi, bahkan masih mengalami persekusi dan teror.

“Keputusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sangat penting bagi Korban agar LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) bisa memberikan hak-haknya kepada Korban sesuai perintah Undang-undang LPSK Nomor 13/Tahun 2006 dan Revisi UU-LPSK Nomor 31/Tahun 2014,” jelasnya.

Pelaporan ke Jaksa Agung yeng menyertakan bukti-bukti kesaksian Korban, penemuan 346 lokasi kuburan massal, Surat-Surat Administratif/Surat Pembebasan yang diterbitkan Pangkopkamtib/Laksusda, Gambar-Gambar Tapol ketika di Kamp Konsentrasi Kerja Paksa Pulau Buru, Video Klip Penggalian Kuburan massal Wonosobo, Dokumen CIA yang sudah dideklasifikasi, Dokumen Agen Intelijen Inggris, Jerman, dll., yang menunjukkan bahwa genosida 1965 adalah rekayasa sistematis dari Agen-Agen Intelijen asing untuk melakukan pembunuhan massal pada 1965.

“Dengan pelaporan dan penambahan alat bukti ini, Jaksa Agung tidak lagi berkelit, berdalih kurangnya alat bukti dan segera lakukan penyidikan kasus tragedi 1965-1966,” ucapnya.

Landasan hukum penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat telah sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomer 39/Tahun 1999, UU Pengadilan HAM Nomer 26/Tahun 2000 serta UU-LPSK Nomer 13/Tahun 2006 dan Revisi Nomer 31/Tahun 2014.

“Kiranya Presiden Jokowi segera melaksanakan janji Nawacita untuk menyelesaikan pelanggaran HAM khususnya kasus tragedi 1965 secara bermartabat dan berkeadilan agar tidak menggantung menjadi beban sejarah selama 56 tahun. Korban 65 ingin menjadi warganegara yang sama, sederajat dengan warganegara yang lain tanpa ada diskriminasi,” harapnya.

Selaras dengan itu, YPKP mendesak:

  1. Presiden Jokowi segera menerbitkan Keputusan Presiden/Peraturan Presiden/Dekrit Presiden untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat khususnya Korban pelanggaran HAM Tragedi 1965-1966 .
  2. Mengembalikan Hak-Hak Korban yang terampas secara tidak sah serta mencabut/membatalkan peraturan/perundang-undangan diskriminatif warisan rejim otoriter Suharto.
  3. Mencabut Keppres No.28 Tahun 1975 yang telah dibatalkan Mahkamah Agung dalam Keputusan No. 04 P/HUM/2013 namun Presiden belum mecabutnya sehingga Hak-Hak PNS/Guru para mantan Tahanan Politik Tragedi 1965 atas Gaji dan Pensiun, tidak bisa dibayarkan oleh Negara. Keppres tersebut menjadi dasar pemerintah Orde Baru Suharto untuk membuat klasifikasi Tahanan Politik (Golongan C1,C2, dst) secara diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945.
  4. Mendesak kepada Menteri Keuangan RI melalui DPR-RI untuk meningkatkan Anggaran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) agar dapat memberi pelayanan medis/psikososial kepada Korban secara optimal mengingat jumlah permohonan layanan oleh Korban semakin besar sementara anggaran tidak ditambah. (Jeng)

Medanoke.com- Jakarta, Jaksa Agung RI Dr. Burhanuddin, SH. MH. memerintahkan kepada seluruh jajarannya untuk menuntut maksimal bagi pelanggar protokol kesehatan (Prokes) yang belum lama ini terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.

Melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak SH MH dalam keterangan persnya, Kamis (29/4/2021), menyikapi beberapa kasus pelanggaran Prokes yang terjadi di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan kasus Warga Negara India yang berhasil masuk ke wilayah Indonesia, lolos dari kewajiban menjalani karantina serta kasus pelayanan antigen yang diduga memakai alat kesehatan bekas di Bandara Kualanamu Medan.

Dalam keterangannya, Jaksa Agung RI Dr. Burhanuddin, SH. MH. memerintahkan penanganan kasus-kasus dimaksud agar para Jaksa melaksanakan secara profesional, komprehensif, dan tuntas. ia menambahkan bahwa kasus ini menjadi perhatian Jaksa Agung.

Leonard mengatakan apabila terbukti bersalah agar dituntut secara maksimal karena pelanggaran Prokes tersebut diatas sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat serta bangsa Indonesia.

Kejaksaan sangat konsisten dan terus menerapkan ketentuan Prokes serta akan menuntut pidana para pelaku secara maksimal sebagai komitmen Kejaksaan dalam penegakkan dan kepastian hukum serta untuk menimbulkan efek jera sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat lainnya untuk tidak melakukan hal yang sama ataupun mencoba melakukan pelanggaran Prokes tentang pencegahan dan penanggulangan pandemi Covid-19. (saf)