
Medanoke.com | Perjuangan Tim 7 Medan Menggugat menyelamatkan sejarah tak pernah surut di tengah hiruk pikuknya pembangunan kota. Kali ini mereka kembali menyuarakan tekad untuk menjadikan Lapangan Merdeka sebagai Cagar Budaya Nasional.
Langkah hukum terbarunya adalah mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Medan terkait gugatan revitalisasi Lapangan Merdeka. Gugatan yang diajukan sebagai citizen lawsuit ini, berangkat dari kekhawatiran masyarakat akan potensi hilangnya nilai sejarah dan identitas kota jika Lapangan Merdeka tidak segera ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional.
“Sejak awal 2024, Tim 7 bersama koalisi masyarakat sipil telah mengupayakan agar lapangan ikonik di jantung kota Medan ini diakui secara nasional sebagai situs sejarah penting – sejajar dengan tujuh lapangan lainnya di provinsi awal Republik Indonesia,” ujar Kuasa Hukum Tim 7, Dr Redyanto Sidi, MH didampingi anggota tim, Ramadianto, SH, Jumat (18/4/2025).
Diakuinya bahwa perjuangan ini tidak berjalan mulus. Gugatan mereka sebelumnya telah ditolak oleh Pengadilan Negeri Medan dengan alasan “tidak dapat diterima”, dan keputusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan pada Maret lalu. Tim 7 akhirnya resmi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Maret 2025, dan telah menyerahkan memori kasasi secara e-court pada 17 Maret.
Padahal Kewajiban
Redyanto menyebut gugatan ini bukan sekadar persoalan prosedural, tapi bentuk perlawanan terhadap pembiaran sejarah. Ia mempertanyakan mengapa pihak tergugat, termasuk Mendikbudristek, gubernur Sumatera Utara, dan wali kota Medan, tidak menunjukkan itikad untuk menetapkan Lapangan Merdeka sebagai Cagar Budaya Nasional, padahal itu adalah kewajiban hukum mereka.
“Apakah Lapangan Merdeka tidak memenuhi syarat sebagai Cagar Budaya Nasional? Mengapa belum ada proses penetapan, bahkan setelah masyarakat mengingatkan,” katanya.
Tim hukum menilai Majelis Hakim keliru dalam pertimbangan hukum dan tidak memperhatikan bukti-bukti sah yang telah diajukan. Mereka berharap Mahkamah Agung dapat melihat persoalan ini secara lebih mendalam, bukan sekadar dari sisi formalitas.
Membela Pusaka Bangsa
Merespon alasan utama pengajuan kasasi, Tim 7 mengatakan ini adalah bentuk pertahanan atas identitas sejarah bangsa. Lapangan Merdeka Medan memiliki signifikansi historis yang setara dengan lapangan-lapangan serupa di Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan kota lain yang menjadi saksi awal kemerdekaan Indonesia.
“Ini bukan sekadar lapangan, ini situs proklamasi. Kita punya ratusan Lapangan Merdeka, tapi hanya ada delapan yang historis dalam konteks kemerdekaan RI,” ujar Miduk Hutabarat, Koordinator Tim 7 didampingi pendiri Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Peduli Lapangan Merdeka Medan – Sumut, Burhan Batubara dan Meuthia F Fadila.
Miduk juga menyoroti ironi dari ketidakterlibatan aktif para pejabat dalam upaya pelestarian sejarah. Padahal, sesuai UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, pejabat negara memiliki tanggungjawab untuk melindungi dan melestarikan situs-situs bersejarah.
Ajak Publik
Karena hal-hal tersebut di atas maka pihaknya mengajak media untuk menggali dan mengkonfirmasi pandangan para pejabat terkait tuntutan masyarakat ini. Tim 7 berharap media bisa menjadi jembatan agar publik mengetahui posisi resmi para pemangku kepentingan, serta mendorong akuntabilitas dalam pengambilan kebijakan.
“Apakah mereka setuju bahwa Lapangan Merdeka layak menjadi Cagar Budaya Nasional? Atau justru mereka tidak ingin sejarah kota ini diakui secara nasional?” pungkas Miduk.
Perjuangan ini masih jauh harapan. Namun satu hal yang pasti: selama denyut sejarah masih terasa di tanah Lapangan Merdeka, Tim 7 dan masyarakat Medan tidak akan tinggal diam.
Tambahan dari berbagai sumber tentang sejarah lapangan merdeka
Lapangan Merdeka adalah sebuah alun-alun di Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Tempat ini terletak di area Kesawan, tepatnya di pusat kota, dan merupakan titik nol Kota Medan seperti ditetapkan pemerintah kota Medan.
Lapangan Merdeka dikelilingi berbagai bangunan bersejarah yang telah berdiri semenjak zaman kolonial Hindia Belanda, beberapa di antaranya adalah Kantor Pos Medan (sedikit keterangan saat ini Kantor Pos telah menjadi menjadi Pos Bloc Medan sebuah creative hub multi-fungsi yang menarik bagi berbagai komunitas kreatif, Bangunan Cagar Budaya, menjadi rumah bagi berbagai tenant UKM/UMKM di industri kreatif seperti kuliner, musik, film, fashion, dan kriya. Pos Bloc Medan merupakan bagian dari M Bloc Group yang telah berhasil menciptakan ruang kreatif publik seperti M Bloc Space di Jakarta, Pos Bloc Jakarta di Pasar Baru, JNM Bloc di Yogyakarta, dan Fabriek Bloc di Padang), Hotel De Boer (Dharma Deli), Gedung Balai Kota Lama dan Gedung de Javasche bank (Bank Indonesia).
Di sekeliling lapangan merdeka juga ditanami pohon trembesi yang tumbuh meneduhi tempat ini dan menjadi saksi sejarah sejak zaman Belanda.
Alun-alun (Lapangan Merdeka) ini telah direncanakan pembangunannya sejak 1872, sejalan dengan kepindahan Kesultanan Deli dan pusat administrasi bisnis 13 perusahaan perkebunan dari Labuhan Deli ke Medan.
Adapun lapangan ini aktif digunakan sejak 1880. Pada zaman Belanda, namanya adalah de Esplanade (Ruang terbuka luas/tempat rekreasi/tempat pertemuan umun).
Berbagai peristiwa bersejarah berlangsung di Lapangan Merdeka, termasuk upacara penyambutan pilot pesawat yang mendarat pertama kali di Medan pada 22 November 1924. Pada tahun 1942, nama Esplanade berubah menjadi Fukuraido yang juga bermakna “lapangan di tengah kota”. Walaupun namanya berubah sesuai kebijakan siapa yang berkuasa, namun fungsinya tetap sama yaitu sebagai lokasi upacara resmi pemerintahan.
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, pada 6 Oktober 1945 dilaksanakan rapat raksasa di Fukuraido yang menyiarkan secara resmi berita proklamasi Indonesia, yang dibacakan Gubernur Sumatera yaitu Muhammad Hasan. Pada 9 Oktober 1945. Setelah itu nama Fukuraido pun berubah menjadi Lapangan Merdeka dan disahkan Wali Kota Medan saat itu yaitu Luat Siregar.
Hingga sekitar tahun 1950, di Lapangan Merdeka juga terdapat Monumen Tamiang yang didirikan pemerintah Belanda untuk memperingati tentara Belanda yang menjadi korban dalam Perang Tamiang (1874-96), lalu di sebelahnya juga terdapat sebuah geriten (jambur Karo) yang kini juga telah tidak ada.
Sisi barat sempat menjadi pusat kuliner dan ikon kota Medan yaitu Merdeka Walk, dan sisi timur sebelumnya adalah areal parkir bagi Stasiun Medan, sisi utara kantor polisi dan lapangan parkir motor bagi pengunjung pusat jajanan.
Adapun pusat jajanan 24 jam (Merdeka Walk) itu terletak di Lapangan Merdeka Medan dan tepat berada di seberang Balai Kota Lama Medan.
Sebagai pusat makanan, puluhan gerai makanan tersedia di sini. Mulai dari dari makanan Barat, makanan Asia sampai makanan khas Medan. Selain menyediakan hidangan dalam berbagai menu, Merdeka Walk juga menyediakan satu tempat yang nyaman dengan keasrian pepohonan bernama Center Piece.
Tempat ini biasanya diisi berbagai hiburan seperti pertunjukan musik langsung/live music acara untuk keluarga seperti menyanyikan lagu-lagu yang membangkitkan kenangan dari era 40-an, 50-an, 60-an, 70-an dan 80-an sehingga menyanyikan lagu-lagu oldies atau golden oldies, easy listening, classic country dan nostalgia di Center Piece. (Pujo)