PKI

Medanoke.com – Medan, Mari kita mengenal Soetanti dan ibunya, Siti Aminah binti Marah Umar atau lebih dikenal dengan nama Ny Mudikdio merupakan dua perempuan yang ditakuti Soeharto.

Antara pertengahan tahun 1970-1980an rumah keluarga tersebut yang berada di daerah Pondok Pinang rutin diawasi militer atau polisi setiap bulan September akan ada satu jip berisi prajurit bersenjata yang menjaga jalan masuk ke rumah tinggal mereka.

Ketika Ny Mudikdio meninggal dunia pada 1984, helikopter berpatroli di langit sekitar Pondok Pinang. Bahkan saat Soetanti terserang stroke dan harus dirawat di ICU, orang-orang yang menangani perawatannya didatangi aparat dari Kodam V Jaya untuk diinterogasi, sebab curiga ada pihak asing yang membiayai perawatannya.

Melansir PerpustakaanOnlineGenosida1965-1966, Soetanti lahir di Sungai Liat pada 1 November 1923. Ayahnya Raden Mas Mudikdio, adalah putra Bupati Tuban Koesoemodigdo yang terkenal berpikiran maju dan mendorong anak-anaknya untuk belajar setinggi mungkin. Ibunya, Siti Aminah lahir dari keluarga tuan tanah terpandang di daerah Deli. Mereka selalu hidup sederhana dan siap berbagi apa saja yang mereka miliki dengan orang kebanyakan.

Keluarga Mudikdio hidup berpindah-pindah karena kepentingan pergerakan dan perang. Mudikdio pernah bekerja di kantor bea cukai di Bangka, Medan dan Pontianak. Setelah Soetanti lahir, mereka pindah ke Yogyakarta. Mudikdio menjadi guru sekolah menengah Muhammadiyah. Siti Aminah, si “kembang Medan”, yang berdarah campuran Minang-Deli, mengganti baju kurung dan celananya dengan kebaya dan kain batik wiron. Saat keluarga ini tinggal sementara di kediaman Bupati Rembang, Siti Aminah belajar menjadi perempuan Jawa yang sempurna, lewat cara berpakaian dan berbahasa krama inggil. Sampai akhir hayatnya ia dikenang sebagai perempuan yang sangat sedikit bertutur dan berkebaya dengan rapih, bahkan saat ditahan di LP Bukit Duri sekali pun.

Siti Aminah tampaknya sudah mulai tertarik dengan kerja-kerja organisasi perempuan sejak ia di Medan. Tapi baru di Semarang dia aktif menjadi penggerak Fujinkai saat pendudukan Jepang. Setelah perang kemerdekaan usai, Siti Aminah tampaknya terlibat dalam Komite Nasional Indonesia, entah di daerah atau di pusat. Kemalangan menimpa dirinya tatkala suaminya yang saat itu menjabat sebagai Komisaris Polisi ditembak dalam peristiwa Madiun 1948. Tragedi ini tidak menyurutkan ketertarikannya pada dunia politik perempuan. Dengan nama Ny. Mudikdio, sejak awal pendirian Gerwani ia selalu terlibat sebagai pengurus. Ia sebenarnya sudah mengurangi kegiatannya di Gerwani saat Gestok terjadi. Tapi karena ia khawatir akan keselamatannya, ia memutuskan untuk mengamankan diri di kantor aparat keamanan. Alhasil ia ditahan 11 tahun. Usianya ketika itu 62 tahun.

Berbeda sekali dengan ibunya, Soetanti tumbuh sebagai gadis yang lincah, ceplas-ceplos, dan berani. Kerabatnya menganggap itulah cerminan gadis-gadis yang besar bersama pergerakan nasional. Tanti suka belajar dan memang cerdas. Setelah menamatkan sekolah menengah berbahasa Belanda MULO ia ingin masuk sekolah kedokteran. Sayangnya Pak Mudikdio tidak punya cukup uang. Ia lalu meminta bantuan sepupu terdekatnya, R.M. Susalit, putra tunggal Kartini. Tanti pun berhasil masuk sekolah kedokteran di Surabaya, NIAS.

Waktu perpeloncoan ia dapat nama panggilan mengejek “Bolletje” karena mukanya bundar dan tubuhnya gempal. Di kalangan teman-temannya ia masih dipanggil Bolle. Saat menjadi mahasiswi kedokteran ini rupanya ia jatuh cinta pada pemuda Aidit. Walaupun Tanti tidak terlalu tertarik pada dunia politik dan kehidupannya sebagai anak ningrat di sekolah elit sangat berbeda dengan kehidupan Aidit yang penuh dengan ketidaktentuan dan marabahaya, mereka memutuskan untuk menikah.

Sebagai istri Aidit, hidup Tanti dan anak-anaknya memang tidak mudah. Sampai Aidit menjadi menjadi ketua partai dan wakil ketua MPR Tanti sering harus berpisah dengan Aidit karena berbagai teror terhadap gerakan kiri atau komunis berulangkali memaksa suaminya mencari jalan menyelamatkan diri. Mereka pernah tinggal di rumah berlantai tanah di Gondangdia, lalu di perkampungan di daerah Galur, Tanah Tinggi. Mereka harus mengungsi karena perkampungan itu suatu hari terbakar. Tapi Tanti tidak hilang semangat. Ia dikenal sebagai “dokter rakyat” yang selalu siap mengobati dan merawat pasien siapa saja yang datang ke rumahnya. Ia rutin mencek kesehatan orang-orang yang tinggal di kampungnya.

Antara 1958-60 Tanti dikirim untuk studi spesialis radiologi di Uni Sovyet. Dalam keadaan mengandung ia membawa serta putrinya tertua, Ibarurri, yang disusul putri kedua, Ilya. Ia melahirkan anak kembar, Irfan dan Ilham saat sedang menyelesaikan studinya. Setelah kembali di Indonesia ia mengajar di Fakultas Kedokteran UI, praktek di RS Cipto Mangunkusumo dan poliklinik rakyat di kantor Gerwani. Gairah belajarnya tak pernah surut. Ia berangkat lagi ke Pyongyang, Korea Utara, untuk mendalami studi akupuntur. Sepulangnya dari Korea, belum sempat ia jalankan ilmu barunya, ia sudah harus menyelamatkan diri. Rumahnya dihancurkan, suaminya menjadi buron, lalu tewas, anak-anaknya terpaksa dititipkan ke kerabat-kerabat dekat yang berbaik hati menawarkan pengasuhan. Setahun setelah ia bersembunyi ia tertangkap dan dipenjarakan selama 14 tahun.

Setelah dibebaskan pada 1980 dengan bantuan teman-teman lamanya di sekolah kedokteran Tanti berhasil mendapatkan izin praktek kembali. Ia melanjutkan kerja-kerjanya di sejumlah klinik yang siap menampungnya sampai ia meninggal dunia pada 1991. Ia tidak pernah bertemu lagi dengan kedua putrinya yang bersekolah di Moskow dan dipaksa mengelana dari satu negeri ke negeri lain tanpa status kewarganegaraan yang jelas. Minggu, (2/1/2022) (Jeng)

Medanoke.com – Medan, Pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia) berat yang terjadi setengah abad lalu masih meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Melalui siaran pers YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan) mendesak Jaksa Agung segera melakukan penyidikan atas peristiwa genosida 1965-1966, Kamis (23/12/2021).

Diketahui, YPKP telah memberikan laporannya kepada Jaksa Agung dipenghujung akhir tahun 2021. Khusus kasus peristiwa genosida 1965-1966 yang telah dilakukan penyelidikan oleh Tim penyelidik pro justisia Komnas HAM selama 4 tahun (2008 – 2012) dan hasil penyelidikannya telah diserahkan kepada Jaksa Agung pada 20 Juli 2012.

“Rekomendasi Komnas HAM ini juga diperkuat oleh Keputusan Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) IPT Tragedy 1965 Den Haag 10 -13 November 2015,” tulis Bedjo Untung, Ketua YPKP65 dalam siaran persnya.

Dalam Laporan Tim Penyelidik pro justisia Komnas HAM Peristiwa 1965-1966 dan Keputusan IPT 65 Den Haag dengan jelas menyatakan, telah terjadi pembunuhan, penculikan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan, penahanan, pemusnahan, kerja paksa mirip perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan phisik secara sewenang-wenang, kekerasan seksual, propaganda ujaran kebencian, perlakuan diskriminatif terhadap warga negara secara terstruktur, sistematis dan massal.

“Penyidikan harus segera dilaksanakan oleh Jaksa Agung mengingat kondisi phisik Saksi dan Korban sudah lanjut usia, dalam keadaan sakit bahkan sudah banyak yang meninggal dunia. Apabila hal ini tidak segera dilakukan penyidikan maka dikhawatirkan Korban akan habis karena tutup usia. Bila ini terjadi, akan menjadi hal yang buruk, mengapa ketika Korban dan Saksi masih hidup tidak segera diselesaikan. Ini akan menambah bukti negara dengan sengaja ingin lari dari tanggungjawabnya untuk berikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia kepada warganegaranya,” tegasnya.

Berdasarkan Surat Pembebasan yang Korban peroleh dari Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) maupun Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban), Korban dinyatakan bebas, tidak terlibat apa yang dinamakan dengan Gerakan 30 September, namun hak-haknya belum dipenuhi, bahkan masih mengalami persekusi dan teror.

“Keputusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sangat penting bagi Korban agar LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) bisa memberikan hak-haknya kepada Korban sesuai perintah Undang-undang LPSK Nomor 13/Tahun 2006 dan Revisi UU-LPSK Nomor 31/Tahun 2014,” jelasnya.

Pelaporan ke Jaksa Agung yeng menyertakan bukti-bukti kesaksian Korban, penemuan 346 lokasi kuburan massal, Surat-Surat Administratif/Surat Pembebasan yang diterbitkan Pangkopkamtib/Laksusda, Gambar-Gambar Tapol ketika di Kamp Konsentrasi Kerja Paksa Pulau Buru, Video Klip Penggalian Kuburan massal Wonosobo, Dokumen CIA yang sudah dideklasifikasi, Dokumen Agen Intelijen Inggris, Jerman, dll., yang menunjukkan bahwa genosida 1965 adalah rekayasa sistematis dari Agen-Agen Intelijen asing untuk melakukan pembunuhan massal pada 1965.

“Dengan pelaporan dan penambahan alat bukti ini, Jaksa Agung tidak lagi berkelit, berdalih kurangnya alat bukti dan segera lakukan penyidikan kasus tragedi 1965-1966,” ucapnya.

Landasan hukum penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat telah sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomer 39/Tahun 1999, UU Pengadilan HAM Nomer 26/Tahun 2000 serta UU-LPSK Nomer 13/Tahun 2006 dan Revisi Nomer 31/Tahun 2014.

“Kiranya Presiden Jokowi segera melaksanakan janji Nawacita untuk menyelesaikan pelanggaran HAM khususnya kasus tragedi 1965 secara bermartabat dan berkeadilan agar tidak menggantung menjadi beban sejarah selama 56 tahun. Korban 65 ingin menjadi warganegara yang sama, sederajat dengan warganegara yang lain tanpa ada diskriminasi,” harapnya.

Selaras dengan itu, YPKP mendesak:

  1. Presiden Jokowi segera menerbitkan Keputusan Presiden/Peraturan Presiden/Dekrit Presiden untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat khususnya Korban pelanggaran HAM Tragedi 1965-1966 .
  2. Mengembalikan Hak-Hak Korban yang terampas secara tidak sah serta mencabut/membatalkan peraturan/perundang-undangan diskriminatif warisan rejim otoriter Suharto.
  3. Mencabut Keppres No.28 Tahun 1975 yang telah dibatalkan Mahkamah Agung dalam Keputusan No. 04 P/HUM/2013 namun Presiden belum mecabutnya sehingga Hak-Hak PNS/Guru para mantan Tahanan Politik Tragedi 1965 atas Gaji dan Pensiun, tidak bisa dibayarkan oleh Negara. Keppres tersebut menjadi dasar pemerintah Orde Baru Suharto untuk membuat klasifikasi Tahanan Politik (Golongan C1,C2, dst) secara diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945.
  4. Mendesak kepada Menteri Keuangan RI melalui DPR-RI untuk meningkatkan Anggaran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) agar dapat memberi pelayanan medis/psikososial kepada Korban secara optimal mengingat jumlah permohonan layanan oleh Korban semakin besar sementara anggaran tidak ditambah. (Jeng)