jokowi

Medanoke.com – Jakarta, Serak (Seniman Masyarakat Peduli Lingkungan dan Anti Korupsi) membacakan puisi yang berjudul Kaesang-Gate, di depan Gedung KPK RI (Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia) Jalan HR Rasuna Said Kav C-1, Jakarta. Jumat, (21/01/2022).

“Sekarang zaman edan, hutan-hutan dibakar. Rakyat sesak nafas, pembakarnya lepas. Denda tak seberapa. Lingkungan rusak, ibu pertiwi menangis, negera rugi,” ujar pembaca puisi dengan menghias wajah hitam putih.

Mereka kecewa terhadap kondisi hutan yang kian hari makin habis, belum lagi dengan pelbagai kasus korupsi serta hangat menjadi perbincangan mengenai suntikan dana anak presiden.

“Mereka suntikan dana puluhan miliar dan bisnis-bisnis lainnya, dan suntikan puluhan miliar lainnya yang kata pangeran kita pasti akan lebih kaget. Jangan-jangan ada yang ratusan miliah atau triliunan rupiah? Luar biasa, naudzubullah min dzalik.. Ah bukan korpsi!” sambungnya.

Sedikit informasi, Perusahaan Alpha JWC Ventures disebut sudah dua kali memberikan suntikan dana senilai total Rp 100 miliar kepada jejaring bisnis yang didirikan oleh putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.

Suntikan dana yang pertama diberikan kepada PT Kuliner Global Sejati (Goola) sebesar USD 5 juta atau senilai Rp 71 miliar pada Agustus 2019. Suntikan dana yang ke 2 (dua) diberikan kepada PT Pemuda Cari Cuan (Mangkokku) sebesar USD 2 juta atau senilai Rp 29 miliar pada November 2020.

Akibat dugaan itu, Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun melaporkan dua anak Presiden Jokowi, yakni Gibran dan Kaesang ke KPK terkait TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) serta KKN(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Senin (10/01/2022).

Seperti mengaminkan tindakan nepotismenya, Gibran menganggap suntikan dana puluhan miliar rupiah untuk bisnis es doger miliknya, merupakan hal biasa dilakukan dalam dunia usaha.

“Ya, kayak gitu cara kerjanya, untuk pembukaan cabang. Biasa, bisnis yang lain beda lagi, dananya lebih besar. Nanti kaget semua,” kata Gibran dalam keterangan pers di Solo dengan sedikit bahasa Jawa.

Berdasarkan penelusuran Ubed, bisnis Gibran dan Kaesang punya kaitan dengan perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran hutan, yakni PT BMH (Bumi Mekar Hijau).

Lantaran penanganan kasus itu tidak berjalan, PT BMH kemudian digugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui jalur perdata dan dituntut ganti rugi Rp7,9 triliun. Namun, dalam proses hukum yang bergulir, ganti rugi yang dikabulkan Mahkamah Agung hanya Rp78,5 miliar.

Kemudian, perusahaan milik anak-anak Jokowi diduga mendapatkan suntikan modal senilai puluhan miliar Rupiah dari PT Alpha JWC Ventures. Perusahaan ini terafiliasi dengan PT SM (Sinar Mas). Menurut Ubed, dugaan KKN dua anak Jokowi dan anak petinggi PT SM sangat kentara.

Tapi, Gibran tak mempersoalkan laporan Ubed terhadap dirinya dan Kaesang. Dia bahkan menantang agar dugaan KKN dan TPPU yang ditujukan kepadanya dibuktikan. Putra Presiden Jokowi itu mengaku siap menjalani proses hukum jika terbukti melakukan pelanggaran.

“Kalau salah ya detik ini ditangkap saja enggak apa-apa,” ucap Gibran.

Menyebarnya kabar dugaan nepotisme anak presiden Jokowi menimbulkan reaksi serius dari kalangan SERAK, mereka membacakan puisi berjudul Kaesang-Gate di depan Gedung KPK RI sebagai bentuk ekspresi demokrasi.

Melalui media sosial akun Twitter @binbin_ft yang memposting cuplikan video pada Jumat (21/01/2022), memperlihatkan sejumlah pemuda berkain merah melingkari satu orang baca puisi dengan wajah sengaja diwarnai hitam putih.

“Siapa bilang pangeran tak boleh berbisnis, kata mereka pemuja pangeran. Tapi kita, rakyat jelata yang susah dan miskin. Tindakan pangeran adalah korupsi. Pangeran mendagangkan kuasa sang raja,” tegas pembaca itu. (Jeng)

Medanoke.com – Medan, Pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia) berat yang terjadi setengah abad lalu masih meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Melalui siaran pers YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan) mendesak Jaksa Agung segera melakukan penyidikan atas peristiwa genosida 1965-1966, Kamis (23/12/2021).

Diketahui, YPKP telah memberikan laporannya kepada Jaksa Agung dipenghujung akhir tahun 2021. Khusus kasus peristiwa genosida 1965-1966 yang telah dilakukan penyelidikan oleh Tim penyelidik pro justisia Komnas HAM selama 4 tahun (2008 – 2012) dan hasil penyelidikannya telah diserahkan kepada Jaksa Agung pada 20 Juli 2012.

“Rekomendasi Komnas HAM ini juga diperkuat oleh Keputusan Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) IPT Tragedy 1965 Den Haag 10 -13 November 2015,” tulis Bedjo Untung, Ketua YPKP65 dalam siaran persnya.

Dalam Laporan Tim Penyelidik pro justisia Komnas HAM Peristiwa 1965-1966 dan Keputusan IPT 65 Den Haag dengan jelas menyatakan, telah terjadi pembunuhan, penculikan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan, penahanan, pemusnahan, kerja paksa mirip perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan phisik secara sewenang-wenang, kekerasan seksual, propaganda ujaran kebencian, perlakuan diskriminatif terhadap warga negara secara terstruktur, sistematis dan massal.

“Penyidikan harus segera dilaksanakan oleh Jaksa Agung mengingat kondisi phisik Saksi dan Korban sudah lanjut usia, dalam keadaan sakit bahkan sudah banyak yang meninggal dunia. Apabila hal ini tidak segera dilakukan penyidikan maka dikhawatirkan Korban akan habis karena tutup usia. Bila ini terjadi, akan menjadi hal yang buruk, mengapa ketika Korban dan Saksi masih hidup tidak segera diselesaikan. Ini akan menambah bukti negara dengan sengaja ingin lari dari tanggungjawabnya untuk berikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia kepada warganegaranya,” tegasnya.

Berdasarkan Surat Pembebasan yang Korban peroleh dari Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) maupun Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban), Korban dinyatakan bebas, tidak terlibat apa yang dinamakan dengan Gerakan 30 September, namun hak-haknya belum dipenuhi, bahkan masih mengalami persekusi dan teror.

“Keputusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sangat penting bagi Korban agar LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) bisa memberikan hak-haknya kepada Korban sesuai perintah Undang-undang LPSK Nomor 13/Tahun 2006 dan Revisi UU-LPSK Nomor 31/Tahun 2014,” jelasnya.

Pelaporan ke Jaksa Agung yeng menyertakan bukti-bukti kesaksian Korban, penemuan 346 lokasi kuburan massal, Surat-Surat Administratif/Surat Pembebasan yang diterbitkan Pangkopkamtib/Laksusda, Gambar-Gambar Tapol ketika di Kamp Konsentrasi Kerja Paksa Pulau Buru, Video Klip Penggalian Kuburan massal Wonosobo, Dokumen CIA yang sudah dideklasifikasi, Dokumen Agen Intelijen Inggris, Jerman, dll., yang menunjukkan bahwa genosida 1965 adalah rekayasa sistematis dari Agen-Agen Intelijen asing untuk melakukan pembunuhan massal pada 1965.

“Dengan pelaporan dan penambahan alat bukti ini, Jaksa Agung tidak lagi berkelit, berdalih kurangnya alat bukti dan segera lakukan penyidikan kasus tragedi 1965-1966,” ucapnya.

Landasan hukum penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat telah sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomer 39/Tahun 1999, UU Pengadilan HAM Nomer 26/Tahun 2000 serta UU-LPSK Nomer 13/Tahun 2006 dan Revisi Nomer 31/Tahun 2014.

“Kiranya Presiden Jokowi segera melaksanakan janji Nawacita untuk menyelesaikan pelanggaran HAM khususnya kasus tragedi 1965 secara bermartabat dan berkeadilan agar tidak menggantung menjadi beban sejarah selama 56 tahun. Korban 65 ingin menjadi warganegara yang sama, sederajat dengan warganegara yang lain tanpa ada diskriminasi,” harapnya.

Selaras dengan itu, YPKP mendesak:

  1. Presiden Jokowi segera menerbitkan Keputusan Presiden/Peraturan Presiden/Dekrit Presiden untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat khususnya Korban pelanggaran HAM Tragedi 1965-1966 .
  2. Mengembalikan Hak-Hak Korban yang terampas secara tidak sah serta mencabut/membatalkan peraturan/perundang-undangan diskriminatif warisan rejim otoriter Suharto.
  3. Mencabut Keppres No.28 Tahun 1975 yang telah dibatalkan Mahkamah Agung dalam Keputusan No. 04 P/HUM/2013 namun Presiden belum mecabutnya sehingga Hak-Hak PNS/Guru para mantan Tahanan Politik Tragedi 1965 atas Gaji dan Pensiun, tidak bisa dibayarkan oleh Negara. Keppres tersebut menjadi dasar pemerintah Orde Baru Suharto untuk membuat klasifikasi Tahanan Politik (Golongan C1,C2, dst) secara diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945.
  4. Mendesak kepada Menteri Keuangan RI melalui DPR-RI untuk meningkatkan Anggaran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) agar dapat memberi pelayanan medis/psikososial kepada Korban secara optimal mengingat jumlah permohonan layanan oleh Korban semakin besar sementara anggaran tidak ditambah. (Jeng)