MEDAN – medanoke.com, Kasus curi sawit untuk modal melamar pekerjaan atas nama tersangka Fadely Arbi, akhirnya dimaafkan alias dihentikan proses penuntutannya oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) dengan menerapkan pendekatan keadilan restoratif (Restorative Justice).
Tindakan ini dilakukan setelah Kajati Sumut Idianto SH MH diwakili oleh Wakajati Sumut Asnawi,SH,MH, Aspidum Arip Zahrulyani SH MH, Koordinator Gunawan Wisnu Murdiyanto, SH, MH, Kasi Terorisme dan Hubungan Antara Lembaga Yusnar, SH,MH, Kasi Oharda Zainal dan Kasi Penkum Yos A Tarigan melakukan gelar perkara secara online kepada Jampidum Kejagung RI Dr Fadil Zumhana didampingi para Direktur dan disetujui untuk dihentikan dengan pendekatan keadilan restoratif, Rabu (5/10/22).
Ekspose yang digelar secara online (daring) juga diikuti Kajari Simalungun Bobby Sandri, SH MH, Kasi Pidum Yoyok Ajisaputra dan JPU.
Terkait hal ini, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sumut Yos A Tarigan menyampaikan bahwa, perkara yang dihentikan penuntutannya adalah dari Kejari Simalungun dengan tersangka Fadely Arbi yang disangka melanggar Pasal 111 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 107 huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
“Adapun tujuan tersangka memanen buah kelapa sawit milik PTPN IV kebun Tinjowan tanpa seizin pihak PTPN IV Kebun Tinjowan adalah untuk dijual oleh tersangka dimana uang hasil penjualan nantinya akan dipergunakan untuk melengkapi administrasi tersangka melamar pekerjaan,” ujar Yos A Tarigan.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan kepada tersangka karena telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf; tersangka belum pernah dihukum; tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana; ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya; dan proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
“Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar; pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif pemulihan keadaan seperti keadaan semula,” ungkap Yos menjelaskan.
Yos A Tarigan menambahkan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.(aSp)