Bank BTN Medan Korupsi

Medanoke.com-Medan, Elviera MKn(52th) yang berprofesi sebagai notaris, terpaksa duduk dikursi pesakitan Pengadilan Tipikor Medan karena disangka terlibat dalam dugaan korupsi sistemik kejahatan perbankan berbau kredit macet sebesar Rp 39,5 miliar di PT Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Medan.
 
Sang Notaris yang didampingi kuasa hukumnya tersebut dihadirkan dalam persidangan secara virtual oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejatisu, Resky Pradhana Romli di ruang Cakra 8 Pengadilan Tipikor Medan dengan majelis hakim yang diketuai oleh Immanuel Tarigan.
 
JPU Resky Pradhana Romli mendakwa Elviera selaku Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah bekerjasama dengan pejabat BTN Medan, dinilai telah memberi bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan dan kondisi sebenarnya kepada pimpinan maupun staf dan karyawan bank.
 
Para saksi yang dihadirkan diantaranya; Ferry Sonefille selaku Pimpinan Cabang (Pincab 2013-2016)/Branch Manager (BM), AF Wakil Pincab 2012- 2014 (Deputy Branch Manager (DBM), R Dewo Pratolo Adji selaku Pejabat Kredit Komersial 2013-2016 (Head Commercial Lending Unit). Serta Aditya Nugroho selaku Analis Kredit Komersial 2012-2015. Keempat pejabat BTN Cabang Medan itu (berkas penuntutan terpisah), telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Surat Edaran Direksi tertanggal 24 Mei 2011. Mereka ditengarai nyata terlibat dalam pemberian kredit kepada PT Krisna Agung Yudha Abadi (KAYA), yang Direkturnya saat itu Canakya Sunan (juga berkas penuntutan terpisah).
 
Elviera terpaksa dijadikan terdakwa karena membuat Akta Perjanjian Kredit Nomor 158 tanggal 27 Februari 2014 antara pihak BTN Kantor Cabang Medan selaku Kreditur dengan PT KAYA selaku debitur, yang mencantumkan 93 agunan berupa Surat Hak Guna Bangunan (SHG) atas nama PT Agung Cemara Realty (PT ACR).
 

Dugaan Korupsi Sistemik di BTN Medan
 
Belakangan diketahui sebanyak 79 SHGB di antaranya masih terikat hak tanggungan di Bank Sumut Cabang Tembung, dan belum ada pelunasan.
 
Warga Komplek Dispenda Jalan Pendapatan IV, Desa Marindal I, Kecamatan Patumbak Kabupaten Deliserdang itu juga membuat Surat Keterangan / covernote Nomor : 74/EA/Not/DS/II/2014 tanggal 27 Februari 2014 yang menerangkan seolah-olah dia sudah menerima seluruh persyaratan untuk balik nama 93 SHGB sehingga dapat dibaliknamakan. Yakni dari PT ACR ke PT KAYA yang mengakibatkan pencairan Kredit Modal Kerja Konstruksi Kredit Yasa Griya (KMK KYG) dari bank BTN kepada PT KAYA.
 
Terdakwa Elviera dijerat dengan dakwaan melakukan atau turut serta secara melawan hukum bertujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya PT KAYA dimana Direkturnya adalah saksi Canakya Sunan sebagai saksi dalam sidang Terdakwa perkara dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp39,5 miliar.
 
Pasal yang disangkakan terhadap terdakwa Yakni Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Subsidair, Pasal 3 jo Pasal 18 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
 
Hakim ketua, Immanuel Tarigan didampingi Eliwarti dan Rurita Ningrum melanjutkan persidangan pada Jumat (17/6/22) dengan agenda mendengarkan nota keberatan (eksepsi) dari terdakwa melalui penasihat hukumnya.
 
Usai persidangan, Elviera melalui penasihat hukumnya Tommy Sinulingga, mengaku akan mengajukan eksepsi pada persidangan selanjutnya karena banyak kejanggalan yang ditemukan dalam perkara itu. Menurutnya, keberadaan notaris adanya di akhir penjanjian antara kreditur dan debitur. “Karena sudah adanya persetujuan para pihak antara BTN dan Developer (PT Kaya) barulah masuk ke notaris yang menuangkan perjanjian tersebut berdasarkan persetujuan para pihak tersebut,” ucap Tommy.
 
“Karena sudah adanya persetujuan para pihak antara BTN dan Developer (PT Kaya) barulah masuk ke notaris yang menuangkan perjanjian tersebut berdasarkan persetujuan para pihak tersebut,” ucap Tommy.
 
Tommy menyampaikan, suatu bank pasti menerapkan prinsip kehati-hatian. artinya ketika sudah ada persetujuan dari pihak bank dan developer, maka prinsip kehati-hatian tersebut dianggap telah memenuhi syarat. “Notaris kan hanya membuat apa yang disetujukan oleh para pihak membuat perjanjian kerja. bagaimana mungkin kami atau klien kami disangkakan melakukan korupsi, padahal SOP mereka yang salah,” ujar tommy.
 
Selain itu, Tommy juga merasa janggal dengan sidang perdana tersebut, seharusnya bukan terdakwa yang lebih dulu disidangkan ke pengadilan. “Status klien kami adalah notaris, pejabat yang diberi kewenangan oleh UU membuat akta setelah para pihak yang memintakan dirinya membuat akta, setuju dengan konsep perjanjian tersebut,” ujarnya. (aSp)
 

Medanoke.com- Medan, Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan melimpahkan berkas dugaan korupsi kredit macet PT KAYA di Bank Tabungan Negara (BTN) senilai Rp 39,5 miliar ke Pengadilan Tipikor Medan, Senin (30/5/2022) lalu. Berkas perkara yang melibatkan notaris Elvira SH itu, diserahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejatisu dan Kejari Medan ke Panitera Muda Tipikor melalui PTSP PN Medan.
 
Kasi Intel Kejari Medan, Simon SH MH membenarkan hal itu. Kali ini berkas tersangka Elvira yang dilimpahkan ke pengadilan. Sementara untuk lima tersangka lainnya belum dilimpahkan.
 
“Kami baru menerima berkas dengan tersangka E (Elvira), sedangkan (berkas) yang lainnya belum ada menerima,” ucap Simon menjawab wartawan melalui pesan singkat WhatsApp, Selasa (31/5/2022).
 
Simon mengaku belum mengetahui tim penuntut umum yang akan bersidang terkait kasus tersangka Elvira. “Belum tahu. Nanti kita lihat kembali berkasnya. Yang pasti, seingat saya tim JPU terdiri dari Kejatisu dan Kejari Medan,” ujarnya.
 
Ditanya pasal apa yang diterapkan dalam dakwaan tersangka Elvira, menurut Simon tersangka didakwa dengan primair pasal 2 ayat 1 Jo pasal 18 UU 31 tahun 1999 Jo UU no 20 tahun 2001 tentang UU  tindak pidana korupsi, subsidair pasal 3 Jo pasal 18 UU 31 tahun 1999 Jo UU no 20 tahun 2001 tentang UU tindak pidana korupsi.
 
“Setelah pelimpahan kami tinggal menunggu pemberitahuan jadwal persidangan dari Pengadilan,” tukas Simon.
 
Hal senada disampaikan Kasi Pidsus Kejari Medan, Agus Kelana. Menurut Agus, pihaknya baru menerima berkas tersangka E, sedangkan yang lain belum ada. “Baru satu berkas, yang lain (5 tersangka) kami gak tahu,” tandasnya.
 
Sebelumya Kejatisu sempat melakukan penggeledahan kantor Bank BTN Jalan Pemuda Medan pada 30 Juni 2021 lalu. Kasus kredit macet ini ditengarai terkait dengan kejahatan koorporasi yang sistemik. Indikasi adanya dugaan kejahatan perbankan ini sempat diutarakan praktisi hukum Sumatera Utara, Arizal SH MH.
 
“Kita menduga ada konspirasi yang sistemik di balik kasus korupsi yang berdalih kredit macet. Kita mendukung secara moril dan mensupport Pidsus Kejati Sumut untuk mengusutnya hingga tuntas. Kalau uangnya mengalir di dalam nama-nama yang tertera di koorporasi, dipertanyakan uang apa. Dalam hal ini, pihak BTN yang paling bertanggungjawab atas bobolnya uang negara melalui kredit kepada PT KAYA,” ucap praktisi hukum Arizal SH MH kepada wartawan beberapa waktu lalu.
 
Arizal menilai kasus kredit macet BTN yang sedang ditangani Kejatisu, bukan hanya semata-mata pidana penggelapan, tetapi perlu penelusuran yang mendalam untuk membuktikan terpenuhinya unsur-unsur korupsi atau terkait pencucian uang. Soalnya, ada indikasi bahwa kasus ini merupakan tindak kejahatan perbankan melalui koorporasi dari sebuah konspirasi yang sistemik.
 
“Di dalam undang-undang Perbankan ada yang dinamakan garansi. Ini harus ditelaah agar predikat crimenya terbuktikan . Ingat, pidana harus dibuktikan dengan modus operandi. Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara harus mengejar modus operandinya,” sebut pengacara kondang Sumatera Utara ini.
 
Kalau sudah ditetapkan sebagai tersangka, katanya, berarti alat buat bukti sudah lengkap dan harus ada penahanan. “Tersangka dalam kasus BTN ini tidak bisa ditetapkan kasus penggelapan, melainkan harus ditetapkan sebagai kasus korupsi karena memakai uang negara. Sedangkan penggelapan harus ada laporan dari direktur atau petinggi perusahaan, itu pun harus ditelusuri karena koorporasi itu bersifat sistemik,” paparnya.
 
Arizal juga mengingatkan Pidsus Kejatisu untuk segera melakukan penahanan. “ Jangan buat bola panas dalam selimut. Kalau kasus korupsi ini tidak ada penahanan, maka kredibilitas kejaksaan dinilai tebang pilih terhadap kasus korupsi lain, dan tidak ada asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat,” tuturnya.
 
Arizal juga menyinggung Pasal 55 dimana turut serta dalam tindak pidana harus bertanggungjawab. “Di kredit ada bagian analis, sebelum dicarikan ada analis yang melakukan peninjauan, survey lokasi, meneliti agunan atau jaminan yang diajukan kreditur kepada bank. Bila ditemukan pelanggaran SOP dalam penyaluran dana kredit Rp 39,5 miliar kepada PT KAYA, pihak BTN harus bertanggungjawab,” tegasnya.
 
Dalam undang-undang PT yang bertanggungjawab itu adalah perusahaan. “Dalam kasus ini, bisa dikategorikan tindak pidana koorporasi karena bertindak atas nama koorporasi. Aliran uang kredit di dalam nama-nama yang tertera di koorporasi perlu dipertanyakan uang apa. Pihak Pidsus Kejatisu harus jeli melihat kasus ini dari berbagai sudut pandang predikat crime,” tukasnya. (aSp)

Medanoke.com- Medan, Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan tengah menyusun dakwaan terhadap Elviera, seorang oknum notaris/ PPAT yang diduga terlibat dalam  perkara dugaan korupsi di PT Bank Tabungan Negara (BTN) Medan, umtuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Medan dan segera disidangkan (17/5/22).
 
“Saat ini tim tengah membuatkan dakwaan dan segera melimpahkan berkas dakwaan tersangka ke Pengadilan Tipikor di PN Medan,” ungkap Kajari Medan, Teuku Rahmatsyah SH MH melalui Kasi Pidsus Kejari Medan, Agus Kelana Putra SH MH, kepada awak media.
 
Selain itu, untuk memudahkan proses pengusutan dan menghindari tersangka melarikan diri ataupun memghilangkan barang bukti perkara tersebut, tersangka Elviera dititipkan di Rutan Perempuan Klas II A Tanjunggusta Medan.
 
Sebelumnya, penyidik dari Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejatisu), telah menetapkan oknum Notaris/ PPATK tersebut, terkait posisinya dan peranannnya, dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada pemberian dan pelaksanaan fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) oleh PT BTN Kantor Cabang Medan kepada PT Krisna Agung Yudha Abadi (PT KAYA) yang merugikan negara hingga Rp 39,5 Milyar.
 
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut (Kasi Penkum) Yos A Tarigan menyebutkan bahwa, penyidik Pidsus Kejatisu telah menetapkan 5 orang tersangka dalam perkara korupsi perbankan di Bank Pelat Merah tersebut. Kelimanya adalah CS sebagai Direktur PT KAYA, selaku pihak penerima kredit. FS sebagai Pimpinan  Cabang Bank BTN periode 2013-2016. AF selaku Wakil Pimcab Komersial pada tahun 2012-2014. RDPA selaku Head Commercial Lending Unit Komersial di tahun 2013-2016 dan AN selaku Analis Komersial tahun 2012-2015. diantara kelima tersangka tersebut, hanya CS yang ditahan, namun penahanan tersebut terkait perkara berbeda. Ironisnya, keempat tersangka lain yang terlibat dalam perkara ini tidak ditahan.
 
Terkait tidak ditahannya para tersangka dalam perkara ini, Kasi Penkum Kejatisu menyatakan, “Penyidik menilai ke 5 tersangka itu koperatif, serta tidak dikhawatirkan melarikan diri, mengulangi perbuatan dan menghilangkan barang bukti, sehingga sampai saat ini tidak dilakukan penahanan,” sebut Yos A Tarigan SH MH.
 
Dalam dugaan kejahatan perbankan ini, BTN Medan menyalurkan Kredit Modal Kerja (KMK) Konstruksi Kredit Yasa Griya (KYG) ke PT KAYA selaku debitur tahun 2014, diperuntukkan pembangunan perumahan Takapuna Residence sebanyak 151 unit. Namun, dalam pemberian dan pelaksanaan fasilitas kredit tersebut, diduga terjadi perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kredit PT KAYA sebesar Rp 39,5 Miliar. padahal perusahaan tersebut berada dalam status kredit macet dan jelas  berpotensi merugikan keuangan negara.
 
Para tersangka diancam telah melanggar Pasal 2 ayat 1, Pasal 3 juncto Pasal 18 UU (Undang Undang) Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. (aSp)